Hukum Qadha Puasa untuk Ganti Fidyah Orang Tua yang Sakit

Hukum Qadha Puasa untuk Ganti Fidyah Orang Tua yang Sakit

Hadila.co.id – Fidyah dalam agama Islam adalah kewajiban bagi seorang muslim yang tidak dapat berpuasa di bulan Ramadan dan tidak mampu menunaikan qadha puasa. Fidyah ditunaikan dengan memberikan makanan kepada fakir miskin. Diantara orang yang harus menunaikan fidyah adalah wanita hamil, ibu menyusui, orang yang memiliki sakit kronis dan tidak mampu berpuasa, orang yang meninggal dan memiliki hutang puasa, dan juga orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa.

Untuk orang tua  yang sudah tidak mampu berpuasa atau yang sakit dan tidak mampu berpuasa, maka wajib bagi orang tua tersebut membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Meski sudah jelas, sebagian anak ada yang melakukan qadha puasa untuk menggantikan fidyah orang tuanya.

Apakah Niat Puasa Ramadan Harus Dilakukan Tiap Malam?

lalu bagaimana hukum anak yang melakukan qadha puasa untuk menggantikan fidyah orang tuanya? apakah sah puasa anak tersebut? atau tetap harus membayar fidyah?

Orang yang sedang sakit payah, dan bertepatan dgn hari-hari berpuasa, maka dia mesti dikonsultasikan kepada dokter yang jujur dan terpercaya dulu.

Jika dokter mengatakan bahwa dia masih ada harapan dan peluang sembuh, maka yang wajib baginya adalah qadha di hari lain.

Bagaimana Puasanya jika Bangun Subuh dalam Kondisi Junub di Bulan Puasa?

Hal ini sebagaimana ayat:

“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 184)

Ada pun jika dokter mengatakan tidak ada harapan sembuh, memang sangat sulit, maka yang wajib adalah fidyah dengan memberikan makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan.

Hukum Menunda Qadha Puasa hingga Bulan Syaban

Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala:

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan tentang makna “bagi orang yang berat menjalankannya”:

“Itu adalah aki-aki dan nenek-nenek yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka, mereka memberikan makanan tiap-tiap hari satu orang miskin.” (HR. Bukhari no. 4505)

Hukum Berkumur dan Istinsyaq ketika Puasa, Batalkah Puasanya?

Orang yang sakit berat dan tidak ada harapan sembuh disamakan dengan aki-aki tua yang sudah tidak mampi puasa.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahumallah berkata:

“Orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh hendaknya dia tidak berpuasa, dan dia memberikan makan masing-masing hari satu orang miskin karena keadaan dia semakna dengan aki-aki tua.” (Al Mughni, 4/396).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan: “Orang yang sudah tidak mampu berpuasa, terus-menerus seperti itu, dan tidak bisa diharapkan hilang ketidakmampuan itu, seperti aki-aki tua, orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh seperti penderita kanker, maka dia tidak wajib puasa, karena dia tidak mampu.”

Safar yang Diperbolehkan untuk Tidak Puasa saat Ramadan

Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS. At Taghabun: 16)

Ayat lainnya: “Allah tidaklah memberikan beban melainkan sesuai kesanggupan seseorang memikulnya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Tapi yang wajib adalah hendaknya dia memberikan makanan sebagai pengganti puasanya, masing-masing hari itu satu orang miskin.

Hadist Dhaif Keutamaan Bulan Ramadan, Popular tapi Munkar

Jadi seperti itu, bukan anaknya yang berpuasa untuknya. Anak berpuasa untuknya itu JIKA orang tua tersebut wafat, dan ada kewajiban berpuasa yang dia tinggalkan saat sakitnya, maka menurut mayoritas ulama adalah anaknya fidyah untuk orang tuanya, kecuali menurut Syafi’iyah yang mengatakan berpuasa, bukan fidyah.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan dengan sangat bagus :

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy Syafi’i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya.

Tapi, madzhab yang dipilih oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah). Yang dimaksud dengan WALI adalah kerabatnya, sama saja baik dia ‘ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: “Jika dia mau.”

Manfaat Puasa bagi Kesehatan Tubuh dan Mental Seseorang

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?” Nabi ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Maka, hutang kepada Allah lebih layak kamu bayar.”

Imam An Nawawi berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas. *(Syaikh Sayyid Sabiq, _Fiqhus Sunnah_, 1/471. Darul Kitab Al ‘Arabi)*

Demikian. Wallahu a’lam. <Ustadz Farid Nu’man>

Join Channel: bit.ly/1Tu7OaC
Fanpage: https://facebook.com/ustadzfaridnuman
Kunjungi website resmi: alfahmu.id

 

Bachtiar
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos