Ketahanan Pangan dalam Sejarah Islam

Ketahanan Pangan dalam Sejarah Islam

Oleh: Mukhamad Shokheh (Dosen Ilmu Sejarah Unnes)

Sejarah peradaban umat manusia memperlihatkan bahwa pangan merupakan salah satu sektor vital dalam kehidupan. Sektor ini penting karena menyangkut hajat serta keberlangsungan hidup umat manusia. Bangsa-bangsa di dunia ini pernah mengalami krisis pangan ketika krisis dan bencana panjang menerpa. Krisis pangan dalam sejarah telah memicu bencana kemanusiaan berupa kesehatan, sosial, dan keamanan.

Sejumlah peradaban pernah menjadi saksi adanya kematian massal karena kekurangan pangan. Konflik agraria yang berkepanjangan antara Sparta dan Athena di abad ke-7 SM menjadi faktor penyebab krisis ini. Wabah kelaparan juga pernah melanda China di medio akhir abad ke-19 yang disebabkan masa kekeringan yang terjadi pada tahun 1876-1879 (Evan Fraser dan Andrew Rimas, 2010). Serangkaian banjir yang terjadi di Mesir pada tahun 1194-1200 M juga menyebabkan kelaparan yang berdampak pada migrasi besar-besaran warga untuk mencari sumber bahan makanan (Hamied Ansari, 986).

 

Belajar dari Sejarah

Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 46-49 mengisahkan cerita Nabi Yusuf As, yang menjadi pelopor strategi ketahanan pangan yang kuat. Suatu hari raja Mesir, Ar-Rayyan bin Al-Walid bermimpi tentang tujuh ekor sapi betina gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus-kurus, dan tujuh bulir gandum hijau, serta tujuh bulir yang lain kering.

Tidak ada satupun penasihat kerajaan yang mampu mentakwilkan mimpi raja dengan penjelasan yang memuaskan, sampai kemudian Nabi Yusuf membantu menafsirkan mimpi baginda raja. Menurut sang Nabi yang juga ahli manajemen ini, tujuh ekor sapi betina gemuk-gemuk merupakan tanda yang bercocok tanam selama tujuh tahun. Bercocok tanam selama tujuh tahun dilakukan supaya negara gemuk seakan seperti sapi betina yang gemuk.

Dalam tataran praktik, Nabi Yusuf menganjurkan pemerintah Mesir agar membangun ketahanan pangan untuk menghadapi masa krisis yang diperkirakan berlangsung selama 7 tahun. Upaya ini dilakukan dengan produksi massal gandum, manajemen stok pangan, serta membudayakan hidup hemat dalam mengkonsumsi makanan. Dengan diterapkannya tiga strategi ketahanan pangan ini, Mesir tetap suvive dan terhindar dari krisis pangan.

Rasulullah Saw memberikan apresiasi terhadap para petani dan ketahanan pangan. Rasul menunjuk Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib yang mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Dalam kitab I’anatuth Tholibin, karya Sayyid al-Bakri menggambarkan ketegasan Nabi terhadap potensi ketidakadilan pangan oleh para penimbun bahan pangan yang berakibat melambungnya harga. Nabi menyebut para penimbun (muhtakir) itu sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah Swt.

Masa kekhalifahan merupakan masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan. Umar bin Khatab menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sungai Eufrat dan Tigris serta daerah rawa dikelola dengan dikeringkan menjadi lahan pertanian. Umar juga memberlakukan pengendalian suplai pangan. Hal ini terlihat ketika musim paceklik melanda Hijaz, beliau memerintahkan Gubernur Mesir Amr bin al-Ash, agar mengirimkan pasokan makanan melalui jalur laut.

Kebijakan untuk mendukung pertanian sebagai penopang ketahanan pangan yang utama tetap dipertahankan dan dilanjutkan di era kekhalifahan. Sejak awal abad ke-9 M, peradaban kota-kota besar Muslim yang tersebar di Timur Dekat, Afrika Utara, dan Spanyol telah ditopang dengan sistem pertanian yang maju, irigasi yang luas, serta tinginya pengetahuan pertanian.

Itulah yang membuat dunia Islam di era kekhalifahan memiliki ketahanan pangan yang begitu kuat. Sejarah peradaban Islam telah berhasil melakukan transformasi fundamental di sektor pertanian melalui revolusi hijau. Revolusi yang dirintis umat Islam ini telah memungkinkan transfer beragam tanaman pangan berikut teknik budidayanya ke berbagai penjuru dunia Islam.

Man la yamliku tha’amuhu la yamliku qararahu. Hidup memang bukan untuk makan, tetapi makan adalah penunjang utama untuk tetap hidup. Dalam konsep Islam menjaga ketahanan pangan berarti juga mempertahankan lima tujuan syariah (dharuriyat al-khamsah). Oleh karena itu mari mulai membangun ketahanan pangan dari diri, keluarga, masyarakat dan mendorong pemerintah untuk concern dalam mengantisipasi krisis pangan di era pandemi ini. Wallahu alam. <Dimuat di Majalah Hadila edisi September>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos