Memahami Makna Ilaah (bagian 2)

Memahami Makna Ilaah (bagian 2)

Hadila.co.id — Saudaraku seiman yang mulia! Misi utama manusia dalam kehidupan ini adalah ubudiyyah (mengabdi) kepada Allah, sehingga aktivitas apapun yang kita lakukan harus berorientasi ke sana [Q.S. Adz Dzaariyyat: 56]. Dan amal apapun yang tidak menunjang  dan mendukung misi ini adalah amal yang sia-sia [Q.S. Al Furqan: 23]. Sedangkan sebuah pengabdian baru dianggap benar jika memenuhi sedikitnya tiga syarat; sempurna dalam mencintai, sempurna dalam merendahkan diri, dan sempurna dalam ketundukan

Sempurna dalam Mencintai  

Cinta adalah energi yang menggerakkan seseorang untuk melakukan apa saja demi yang dicinta. Manusia yang sedang dirundung cinta kepada kekasih hatinya, akan rela melakukan ‘tugas’ apapun yang diminta oleh kekasihnya demi membahagiakan sang kekasih pujaan hatinya. Jika hal ini bisa dilakukan oleh manusia terhadap manusia, lantas bagaimana mungkin hal ini tidak bisa ia lakukan terhadap Tuhan Penciptanya? Bukankah Dia lebih berhak mendapatkan cinta kita daripada selainNya?

Maka para ulama terheran-heran dengan perilaku kita. Sering kali kita mengklaim diri kita sudah mencintai Allah Swt, akan tetapi kemaksiatan adalah denyut nadi kehidupan kita dan ketaatan belum menjadi pakaian keseharian kita.

Engkau selalu durhaka kepada Ilaah
Tapi masih saja engkau mengaku mencintaiNya
Sunggguh, sebuah kontradiksi dalam logika
Jika cintamu benar (kepadaNya)
Pastilah engkau menaatiNya
Karena pecinta sejati
Pastilah taat kepada yang dicinta

Bukti cinta adalah taat. Akan tetapi sebaliknya, ketaatan tak akan ada artinya tanpa dilandasi rasa cinta. Meski sama-sama melakukan salat, akan tetapi salat kaum munafikin tidak akan pernah diterima Allah Swt karena tidak dilandasi cinta, melainkan karena keterpaksaan dan berat hati yang mendera [Q.S. An Nisa: 142], sedangkan kaum beriman saat mereka menegakkan salat, dia merasakan dekat dan yakin akan perjumpaan dengan Allah Swt [Q.S. Al Baqarah: 45-46].

Sempurna dalam Merendahkan Diri

Merendahkan diri kepada makhluk adalah kehinaan, sedangkan merendahkan diri kepada Sang Khaliq adalah kemuliaan karena Dia merupakan manifesto ubudiyyah. Oleh karenanya, ketika kaum munafikin mengaku sebagai kaum yang mulia karena mereka pribumi dan ‘pemilik sah’ Madinah, sedangkan sahabat-sahabat Muhammad Saw adalah kaum ‘pendatang’ yang hina, Allah Swt tidak terima dengan ucapan mereka ini dan menegaskan bahwa izzah (kemuliaan) itu hanya milik Allah, RasulNya dan kaum beriman [Q.S. Al Munafiqun: 8].  Karena kemulian didapat dengan mengabdikan diri hanya kepada Allah.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. [Q.S. At Tiin: 4-6]

Dalam Alquran, Salat sering kali disebut dengan sujud karena sujud adalah rukun terpenting di dalamnya. Dan sujud adalah salah satu bukti penghambaan diri kita kepada Allah. Sujud merupakan representasi dari kesempurnaan dalam merendahkan diri kepada Allah Swt. Dan Allah Swt sangat suka dengan orang-orang yang merendahkan diri kepadaNya, maka apapun yang dia minta pasti Dia beri.

Sempurna dalam Ketundukan

Seorang hamba (budak) baru dikatakan hamba jika mematuhi semua perintah tuannya/majikannya. Dan seseorang baru dikatakan sebagai orang yang patuh, jika tanpa reserve saat ia menjalankan perintah atau menerima keputusan. Maka Rasulullah menegur para sahabat yang melakukan ‘unjuk rasa’ saat turun firman Allah Alquran Surah Al Baqarah ayat 284, Beliau berkata: “apakah kalian hendak berkata sebagaimana ucapan Bani Israil, ‘kami dengar, tanpa kami durhaka’, akan tetapi katakanlah, ‘kami dengar dan kami taat’”. Sontak para sahabat menginsafi kesalahan mereka, lalu turunlah ayat yang me-nasakh kandungan ayat tersebut [Q.S. Al Baqarah: 285].

Tak dianggap beriman; jika kita belum rela dengan hukum Allah. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”  [Q.S. An Nisa: 65].

Dan belum dianggap sempurna iman kita, jika kita masih mencari alternatif hukum ketika Allah telah membuat hukum dan ketetapan. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [ Q.S. Al Ahzab: 36]. Wallahu a’lam bishshowwab.

 

[Oleh: Suhari Abu Fatih | Pegiat Dakwah dan Sosial]

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos