Hadila.co.id — Zuhud adalah kunci untuk meraih cinta Allah dan sesama manusia. Imam Nawawi dalam al-Arba’in an-Nawawi mencatat sebuah hadis perihal zuhud yang diriwayatkan Ibnu Abbas. Dari Ibnu Abbas, Sahl ibn Sa’d as-Saidi mengisahkan, seseorang pernah datang kepada Rasulullah kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku amal perbuatan yang jika kulakukan, aku dicintai Allah dan dicintai sesama manusia.”
Rasulullah menjawab, “Berzuhudlah dengan dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan berzuhudlah dengan apa yang dimiliki orang lain, niscaya engkau dicintai mereka.”
Zuhud tak berarti hidup miskin dan hina. Sederhana saja, Imam Ahmad mendefinisikan zuhud dengan tidak serakah dan tidak menginginkan harta yang dimiliki orang lain. Ketika dunia ada dalam genggaman, ia tidak terlenakan oleh kenikmatan itu. Seperti Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, keduanya mampu memanfaatkan kelebihan rezeki dari Allah untuk mendukung perjuangan Islam.
Orang yang miskin belum tentu zuhud, sedangkan orang yang kaya belum tentu tak zuhud. Sebab, zuhud hakikatnya tampak dalam sikap seseorang terhadap harta yang diberikan Allah. “Orang zuhud adalah jika mendapat nikmat, ia bersyukur dan jika ditimpa musibah, ia bersabar,” kata Sufyan bin Uyainah.
Karena itu, orang zuhud senantiasa mendapati hidupnya dalam ketenangan. Dunia adalah fana, sedangkan akhirat abadi. Seorang hamba yang zuhud menyadari bahwa rezeki setiap hamba telah ditetapkan di sisi-Nya. Rezeki tidak akan bertambah atau berkurang, sekalipun kita mengejarnya dengan cara-cara yang tidak halal.
Menjadi begitu indah perumpamaan yang dibuat Allah dalam surah al-Hadid ayat 20, “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.”
Sumber: republika.co.id