Tak Ada Kata Pensiun Bagi Seorang Muslim

Tak Ada Kata Pensiun Bagi Seorang Muslim

Hadila.co.id – Tak ada kata pensiun bagi seorang muslim, yang ada adalah menjadi muslim yang matang. Bagaimana maksudnya? Berikut wawancara Hadila dengan Ustaz Ir. H.M. Seno Hadi Sumitro, ustaz yang juga berprofesi sebagai trainer LMT Solo dan familiar dengan sebutan Ki Seno karena hobi ndalang nya.

Usia pensiun sering dimaknai menjadi waktunya beristirahat, bahkan menjadi waktu berhenti berkarya. Bagaimana menurut ustaz?

Istilah pensiun biasanya merujuk pada selesainya masa bekerja pada instansi tertentu baik negeri maupun swasta. Sehingga usia pensiun (50 tahun keatas) sering dimaknai sebagai usia-usia istirahat (tidak produktif). Hal ini tidak tepat. Tak ada kata pensiun, apalagi sebagai seorang muslim.

Hal ini jelas terlihat dalam kehidupan teladan kita Rasulullah Saw. Di usia 51 tahun beliau berhijrah dan mulai membangun peradaban Islam di Madinah. Rasulullah Saw tak pernah berhenti, hingga beliau wafat.

Usia 50 tahun keatas, bisa dibilang usia matang, kaya akan pengalaman masa lalu yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk tetap produktif. Agar tidak merugi, karena tidak mengisi ‘sisa’ umurnya dengan baik. Agar tidal su’ul khotimah karena tidak berbekal. Baik bekal amal maupun materi. Karena sebagian amal saleh perlu didukung dengan materi.

 Bagaimana Islam memandang produktivitas?

Dalam perspektif Islam, pensiun itu ditandai kematian. Islam tidak mengenal masa pensiun kecuali datangnya ajal. Sehingga sebagai seorang muslim, kita harus memiliki etos kerja tak terbatas usia. Islam meminta umatnya untuk kerja dengan itqon (profesional).

Allah berfirman; “Dan Katakanlah, ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’ [Q.S. At-Taubah (9):105]. Dalam firman yang lain: “Katakanlah: ‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keahlianmu, sesungguhnya Aku  bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui.”[Q.S. Az-Zumar: 39]. Begitupun bisa disimak dalam firman-firman Allah pada Q.S. Al Isra (17): 84, Q.S. Al Fushilat (41): 5 dan Q.S. Al Mulk: 2

Bahkan, Islam juga mengukur produktivitas dengan karya  yang nilainya atau usia manfaatnya lebih panjang daripada usia kita. Sehingga walaupun kita sudah ‘hancur termakan tanah’, kemanfaatannya terus dirasakan, pahalanya tetap mengalir sampai kiamat. Bersifat investatif. Ini memunculkan konsep khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Terkadang saat usia pensiun, yang tertinggal bukannya spirit bekerja melainkan gejala post power syndrom. Bagaimana terkait hal ini?

Sebelumnya mari kita ingat kisah Khalid bin Walid. Panglima perang termasyhur, dimasa kekhalifahan Umar bin Khathab. Banyak peperangan dimenangkan, dengan beliau sebagai panglimanya. Khawatir terjadi pengkultusan terhadap Khalid, beliaupun kemudian digantikan sementara oleh Abu Ubaidah. Saat itu Khalid sama sekali tidak keberatan. Tak juga berhenti ‘bekerja’. Tetap menjadi prajurit, dan menegakkan Islam. “Aku berperang untuk Allah dan kejayaan Islam, bukan untuk Umar,” ucapnya tegas.

Kisah ini bisa menjadi contoh dan pelajaran. Intinya pada kematangan diri untuk menetapkan tujuan hidup, kemudian jika diturunkan menjadi tujuan dari terus memupuk spirit bekerja. Tujuan itu tentunya adalah Allah. Sehingga otomatis, post power syndrom tidak akan muncul.

Begitu memasuki usia pensiun, seseorang yang matang akan terus belajar berbagai hal meski diluar bidang yang pernah digelutinya, tetap produktif dengan semua skill yang dimilikinya, dan membungkus semuanya dalam konteks amal ibadah.

 Apakah keutamaan tetap produktif di usia pensiun?

Yang utama selain materi, kenyamanan hidup, adalah tahapan menemukan jati diri untuk kebahagiaan yang sesungguhnya. Bahwa hidup itu tujuan akhirnya adalah menuju kepada Allah. Bekalnya adalah haqqa tuqottih (takwa optimal), dengan all out (totalitas) bekerja untuk akhirat dengan tingkat keikhlasan yang tinggi. Semua materi yang didapatkan, mendukung dan mengarah pada tujuan utama tersebut.

Produktif di usia pensiun itu, memberi nilai dan arti pada hidup. Sehingga hidup bukan sekadar aktivitas killing time (membunuh waktu), rutinitas belaka atau bahkan menunggu ajal. Jika disadari, di sinilah letak kebahagiaan hidup.

Bagaimana agar tetap produktif meski di usia pensiun?

Pertama, tetap buka diri seluas-luasnya. Kedua, gali potensi dan kemampuan terus-menerus. Ambil setiap peluang dan kesempatan untuk ‘berinvestasi amal’, memberikan kontribusi, dan mensejahterakan. Ketiga, fokusnya pada produktivitas untuk mencapai falah (akhirat), bukan sekadar maslahah (tujuan duniawi).<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Oktober 2014>

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos