Sejarah Peci, Islam, dan Identitas Bangsa

Sejarah Peci, Islam, dan Identitas Bangsa

Oleh: Mukhamad Shokheh (Dosen Sejarah Unnes)

Hadila.co.id  — Peci, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian sebagai penutup kepala untuk pria. Terbuat dari kain atau bahan lain dibentuk meruncing di kedua ujungnya.

Sebutan lainnya, yakni kopiah atau songkok. Sedangkan, di belahan benua lain seperi Eropa dan Amerika masyarakatnya menyebut kopiah atau peci itu dengan nama kufi, taqiyat, topi fez, songkok, dan lainnya.

Meski ketiganya berfungsi sama sebagai penutup kepala, sejarahnya berbeda-beda. Peci misalnya,  dalam sejarah pada masa penjajahan Belanda disebut petje. (Baca Juga: Sejarah Musik Gambus)

Yaitu, dari kata pet yang diberi imbuhan je. Sedangkan kopiah diadopsi dari bahasa Arab, kaffiyeh atau kufiya. Namun, wujud asli kaffiyeh berbeda dengan kopiah. Sementara, songkok dalam bahasa Inggis dikenal istilah skull cap atau batok kepala topi, sebutan oleh Inggris bagi penggunanya di Timur Tengah.

Sejarah Peci (Songkok)

Peci adalah tutup kepala yang terbuat dari beledu warna gelap dengan ketinggian antara 6 sampai 12 cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi antara torbus Turki dengan peci India.

Berbicara sejarah peci, menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar.

Peci merupakan pemandangan umum di tanah melayu sejak abad 13. Jadi sejarha peci sudah dimulai sejak masa-masa itu. Marwati Djoened Poesponegoro, menerangkan bahwa peci sesungguhnya sudah dikenal di daerah Giri pada abad ke-15.

Pada tahun (1486-1500), Raja Ternate Zainal Abidin belajar agama Islam di madrasah Giri yang pada saat itu merupakan pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Sekembalinya ke Ternate  dia membawa peci sebagai oleh-oleh pulang ke kampung halaman.

Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, di tengah pria-pria Jawa yang mulai mengasosiasikan dirinya dengan Barat memakai pakaian gaya Barat, akan tetapi belangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

Peci dan Identitas Nasional

Sebagai sebuah penutup kepala, peci bagi umat Islam di Indonesia terdapat sejarah panjang, dimana awalnya dari sebuah nilai keagamaan menjadi sebuah nilai ideologi berbangsa dan bernegara.

Penggunaan peci yang awalnya  sebagai identitas kiai itu semakin marak sejalan dengan meluasnya Islam baik oleh para wali dan ulama, maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan memakai peci  berwarna hitam.

Pada awal pergerakan nasional 1908 kebanyakan para aktivis masih memakai destar dan tutup kepala belangkon, yang lebih dekat ke tradisi priayi dan aristokrat, tetapi seiring dengan meluasnya gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme.

Soekarno yang besar dalam budaya Jawa  terbiasa sejak kecil dengan belangkon atau tutup kepala khas Jawa. Begitu pun Bapak Bangsa, Hadji Oemar Said Cokroaminoto, dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan belangkon sebagai identitas, akan tetapi belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun memakai peci.

Sejak saat itu peci yang semula merupakan tradisi pesantren mulai bertransformasi, sebagai identitas nasional yang dipelopori oleh kaum pergerakan.

Banyak tokoh pergerakan nasional setelah tahun 1920-an mengenakan peci Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga dia meninggal.

Meski tak resmi, peci sering dipakai sebagian anggota tentara atau laskar. Mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala.

Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu menyediakan baret dan helm baja.

Jika ada yang memakai baret atau helm, itu sering kali hasil rampasan dari tentara musuh. Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci.

Saat ini, peci telah dipakai meluas, baik dalam aktivitas ibadah di kalangan umat Islam, dalam kegiatan sosial kemasyarakatan serta acara-acara resmi kenegaraan.

Aktivitas ibadah salat,  kenduri, hajatan perkawinan, dan sejenisnya, serta kegiatan pelantikan pejabat pemerintahan, upacara resmi kenegaraan semuanya tidak terlepas dari peci.

Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika peci telah mengalami tranformasi identitas, yang awalnya identitas Muslim saat ini telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Menariknya transformasi identitas ini berlangsung  secara natural, smooth, dan penuh dengan harmoni. Wallohu a’lam.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Mei 2018>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos