Pasangan Bahagia

Pasangan Bahagia

Kita sering menyebut keluarga atau pasangan yang harmonis, bahagia dan sejahtera dengan istilah pasangan sakinah. Di sisi lain, ada pasangan yang tidak sakinah atau tidak bahagia. Mereka rapuh, mudah berpikir negatif, mudah terbakar emosi/ cemburu. Mudah mengalami konflik disebabkan cara pandang mereka dalam berinteraksi. Mudah goyah karena tidak bisa bersikap tepat dalam menghadapi permasalahan tersebut.

Pasangan bahagia memiliki cadangan kebahagiaan yang melimpah dalam jiwa. Memiliki cara pandang dan sikap positif menghadapi berbagai dinamika kehidupan. Tidak mudah goyah oleh rumitnya permasalahan, bahkan mampu mengemasnya dengan sederhana. Berbeda dengan pasangan pada umumnya yang mudah panik, marah, emosi dan lepas kendali saat dilanda persoalan.

John Gottman memberikan beberapa contoh menarik saat menjelaskan perbedaan pasangan bahagia dengan pasangan tidak bahagia.

Pertama, dalam komunikasi timbal balik. Ternyata cara komunikasi timbal balik berpengaruh terhadap kebahagiaan pasangan. Bagaimana bersikap saat pasangan mengatakan sesuatu yang positif dan sesuatu yang negatif, berbeda antara pasangan bahagia dengan pasangan pada umumnya.

Pada pasangan bahagia, ketika suami/ istri mengatakan sesuatu yang positif, maka pasangan mengomentari dengan cara yang positif pula. Sementara ketika suami/ istri mengatakan sesuatu yang negatif, pasangan bahagia tidak langsung memberikan respons, cenderung mencoba memahami pasangannya.

Pada pernikahan tidak bahagia, ketika suami/ istri mengatakan sesuatu yang positif, maka pasangan tidak memberikan respons, menganggap itu sebagai hal yang biasa. Sementara ketika suami/ istri mengatakan hal negatif, cenderung langsung membalas dengan perkataan atau sikap yang negatif.

Kedua, dalam interpretasi pesan. Ketika sedang bertengkar, ada kecenderungan suami/ istri memilih kosa kata yang menyakitkan hati pasangan. Misalnya ketika suami/ istri mengatakan, “Diam kamu! Jangan ganggu aku lagi!” Cara menginterpretasi dan menanggapi pesan tersebut berpengaruh terhadap kebahagiaan keluarga.

Pada pasangan bahagia, ketika suami/ istri mengucapkan kata yang menyakitkan hati, pasangan tidak menyalahkannya dan tidak pula menyalahkan diri sendiri, namun berusaha fokus mencari sumber permasalahan dan mencari sisi lebih positif dari perkataan tersebut. Contohnya, pasangan bisa dengan tenang berkata, “Maaf sayang, kamu tadi bilang apa? Mungkin aku salah dengar ya,” atau, “Oke sayang, silakan menenangkan diri dulu ya.”

Pada pernikahan tidak bahagia, ketika suami/ istri mengucapkan kata-kata menyakitkan, pasangan lebih fokus pada rasa sakit hatinya, sehingga lebih mungkin membalas dengan kalimat atau sikap penuh kemarahan. Misalnya mengatakan, “Justru kamu yang selama ini selalu mengganggu aku!”

Ketiga, dalam interpretasi terhadap perilaku pasangan. Dalam kehidupan berumah tangga, perbuatan kita tidak mungkin selalu menyenangkan pasangan. Kadang kita melakukan suatu perbuatan yang dipandang negatif oleh pasangan, yang mungkin saja tidak kita sadari. Cara menginterpretasikan dan merespons perilaku pasangan akan memberikan dampak yang berbeda pada suasana kebahagiaan di setiap keluarga.

Pada pasangan bahagia, ketika suami/ istri melakukan sesuatu perbuatan negatif, maka pasangan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara. Pasangan juga mampu melihat perilaku negatif itu diakibatkan sesuatu di luar diri (lelah, misalnya). Sementara itu, ketika suami/ istri melakukan sesuatu perbuatan positif, maka pasangan menginterpretasikan sebagai hal yang memang menjadi kepribadian pasangannya.

Pada pernikahan tidak bahagia, ketika suami/ istri melakukan sesuatu perbuatan negatif, pasangan justru mengartikannya sebagai kepribadian pasangan, dengan tuduhan atau klaim negatif lain. Sebaliknya ketika suami/ istri melakukan sesuatu perbuatan positif, pasangan justru berpikir bahwa itu sesuatu yang sementara saja, bukan asli jati dirinya.

Keempat, munculnya pola ‘menuntut-menarik diri’. Misalnya istri yang menuntut, sementara suami bersikap menarik diri. Jika pola ini ada dalam kehidupan keluarga, maka pernikahan cenderung menjadi kurang bahagia.

Pada pasangan bahagia, tuntutan diberikan secara wajar dan dikomunikasikan dengan baik. Pasangan tidak menarik diri. Akan mendengarkan, memahami dan berusaha memenuhinya dengan dukungan penuh cinta dari pihak yang menuntut.

Pada pernikahan tidak bahagia, suami/ istri memberikan tuntutan yang sulit dipenuhi, sementara pasangannya justru menarik diri. Komunikasi tidak bisa berjalan lancar. Masing-masing menuduh pasangan sebagai tidak pengertian.

Dari beberapa perbedaan yang disebutkan John Gottman tersebut, jelas bahwa pasangan yang bahagia bukannya bebas dari perilaku negatif yang tidak menyenangkan pasangan. Namun yang membedakan adalah sikapnya. Pasangan bahagia bersikap positif dan tepat ketika menghadapi suasana yang diharapkan maupun tidak. Sementara pasangan tidak bahagia cenderung bersikap dan memperhatikan sisi negatif. Tidak dewasa merespons suasana yang diharapkan maupun tidak, yang justru memperburuk kondisi.<>

[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2015]

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos