Hadila.co.id—Setiap orang tidak bisa menebak harga surga. Apakah kita harus berpayah-payah beribadah hingga jumlah amalan kita mampu menebus surga. Atau dosa manusia sejagad raya bisa mengugurkan kita sebagai calon penghuni surga.
Ibrahim Bin Adham yang populer dengan sebutan Abu Ben Adhem, memiliki nama lengkap Abu Ishak Ibrahim bin Adham, Bin Mansur al-Balkhi al-Ijli, Abu Ishaq. Dia lahir di Balkh di sebelah timur Khurasan.
Keluarga Ibrahim berasal dari Kufah, dan merupakan keturunan kedua dari Khalifah Umar bin Khattab. Dia adalah raja Balkh tetapi meninggalkan tahta dengan kemewahan yang ada untuk menjadi seorang sufi.
Taubatnya Ibrahim merupakan sebuah kisah yang unik. Salah satu kisah yang mengawali taubatnya adalah semasa menjadi raja. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, Ibrahim juga bergelimang kemewahan. Suatu malam, ketika sedang tidur di atas dipannya, ia dikejutkan oleh suara langkah kaki dari atas genteng, seperti seseorang yang hendak mencuri.
Ibrahim menegur orang itu, “Apa yang tengah kamu lakukan di atas sana?” Orang itu menjawab, “Saya sedang mencari onta saya yang hilang.” “Apa kamu sudah gila, mencari onta di atas genteng,” sergahnya.
Namun orang itu balik menyerang, “Tuan yang gila, karena tuan mencari Allah di istana.” Jawaban itu membuat Ibrahim tersentak, gelisah, merenungi kebenaran kata-kata itu. Perenungan itu mengawali perjalanan panjang kehidupannya hingga menjemput hidayah-hidayah selanjutnya.
Dalam kisah termasyhur lain, Ibrahim bin Adham pernah “menebak harga surga”. Suatu hari dalam sebuah perjalanan, ia mencari sebuah tempat untuk menunaikan hajat (toilet). Tampak seorang pemuda berjaga di tempat tersebut.
”Jika kau mau masuk ke tempat ini, haruslah kau membayarnya,” ungkap pemuda. Mendengar ucapan tersebut Ibrahim pun terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda tersebut heran, seraya berkata,”Jika kau tidak punya uang, maka carilah tempat lain.
Tak lama Ibrahim pun menjawab, ”Aku menangis bukan karena aku tidak memiliki uang. Aku menangis karena merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus membayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indah?”
Kisah kedua ini, hendaknya membuat diri kita semakin memahami. Untuk melembutkan hati kemudian senantiasa ‘berhitung’, layaknya Ibrahim bin Adham. Jika Rasulullah Saw yang ma’shum saja masih beristighfar 70 kali sehari sebagai bentuk syukur sekaligus muhasabah diri. Bagaimana dengan kita? Cukupkah kualitas taqwa kita ‘membayar tarif’ surga?
Tak ada salahnya, jika setelah ini kita mengira-ngira berapa harga surga. Karena pasti akan kita temukan, bahwa surga itu ‘mahal’. Tempat terindah yang selalu kita idamkan untuk kita tinggali, namun amalan kita seolah kita tidak pernah menginginkannya.<Rubrik Kisah Teladan Hadila Edisi 87 September 2014>