Berbicara masalah jodoh, adalah berbicara mengenai pemahaman tentang sesuatu yang sifatnya misterius tetapi nyata, benar dan logis penjabarannya. Demikian simpulan Hadila saat berbincang hangat bersama Rabi’ah Al Adawiyah, S.H, penggagas Sekolah Pra Nikah (SPN) Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Benih. Berikut perbincangan lengkap kami dengan ibu 5 anak yang juga owner toko kue Lezati ini:
Bagaimana memahami jodoh, dalam perspektif yang benar?
Mengenai jodoh, beberapa hal harus kita pahami. Pertama, bahwa jodoh ada di tangan Allah seperti halnya ketentuan mengenai rezeki dan umur. Siapa, kapan, bagaimana bertemu, ada dalam kuasa Allah. Tak perlu risau, karena jodoh masing-masing orang telah disiapkan oleh Allah. Sehingga yang perlu dilakukan adalah menjemputnya.
Kedua, yang tersirat dari kata jodoh adalah keniscayaan adanya perbedaan. Dalam banyak hal, Allah memberikan perumpamaan mengenai jodoh/ pasangan. Siang berpasangan dengan malam, barat dengan timur, laki-laki dengan perempuan. Berjodoh berarti berkumpulnya dua orang/hal yang berbeda. Baru kemudian dalam interaksi setelah pernikahan muncul persamaan. Hal ini memerlukan pemahaman dan kesiapan, agar saat jodoh datang dapat tercipta keharmonisan pada kehidupan selanjutnya.
Bagaimana kemudian cara menjemput jodoh dari tangan Allah?
Ya karena ada dalam kekuasaan Allah, yang pertama diketuk adalah keridaan Allah. Meski jodoh adalah bagian dari qada dan qadar Allah, tetapi Islam bukan agama fatalis (meniadakan harapan dan usaha).
Dalam konsep keimanan, iman kepada qada dan qadar ada di urutan terakhir. Ini menyiratkan bahwa kita memiliki kesempatan untuk mengusahakan setiap hal dalam hidup kita. Tentu saja dengan panduan 5 konsep keimanan diawalnya. Saat kita telah ‘selesai’, dengan kelima konsep itu, maka insyaAllah kita pasti akan dapat menerima konsep qada dan qadar dengan legowo. Saat 5 keimanan sehat, maka qada dan qadar Allah hanya indah adanya.
Mengenai cara, banyak amalan bisa dilakukan untuk dapat mengetuk keridaan Allah, atas rezeki jodoh. Salah satunya dengan memperbanyak Salat Duha. Pada dasarnya, semua amal ibadah kita, bisa kita jadikan wasilah kepada Allah untuk memohon. Asal tidak ‘mendikte’ Allah. Sah saja, saat kita senantiasa menjaga diri, beribadah, melakukan amalan-amalan istimewa, kemudian mewasilahkannya atas sebuah permohonan.
Apakah mempersiapkan diri untuk menikah adalah bagian dari ‘permohonan’ jodoh kepada Allah?
Benar. Kita memiliki ‘masa menunggu’ ketetapan Allah tentang jodoh kita. Masa ini hendaknya dilihat sebagai masa beramal maksimal dan belajar lebih banyak. Apalagi di zaman dengan banyak kemudahan seperti sekarang ini. Banyak hal yang bisa kita lakukan daripada sekadar galau berkepanjangan. Menjadi lajang produktif, bisa menjadi penilaian bagi Allah. Menciptakan ‘gaya tarik’ atau ‘ruang kosong’ bagi jodoh yang sebanding. Wanita baik hanya untuk laki-laki baik. Masa menunggu adalah masa memantaskan diri bagi jodoh yang baik itu. Allah tahu sejauh mana kesiapan, kapasitas dan kesungguhan kita.
Bagaimana dengan bujang yang tak jua bertemu jodoh?
Harus lebih banyak bersabar, tetap ‘jernih’, husnuzon, dan tawakal pada Allah. Tetapkan standar calon pasangan, berdasar pengenalan pada konsep. Dengan begini, akan ditemukan standar calon yang kita butuhkan, bukan sekadar yang kita inginkan. Ini yang membedakan antara orang yang siap menikah dengan yang ingin menikah. Bisa jadi belum dipertemukan jodoh, karena sejatinya belum siap menikah. Dan Allah tahu itu. Orang yang ingin menikah, biasanya standar calon masih lebih didominasi hawa nafsu, materialis, fisik, dll. Berbeda saat seorang siap menikah, maka standar calon juga pasti sifatnya jangka panjang.
Misalnya: saya menyadari diri saya dominan, maka saya merasa butuh untuk mendapatkan pasangan yang sekiranya lebih unggul kapasitasnya daripada saya. Sehingga tidak muncul ‘dominasi’ saya yang mungkin bisa mengganggu keharmonisan dan keseimbangan tujuan keluarga yang saya harapkan. Intinya ada pada kesesuaian saat calon tersebut nantinya berpasangan dengan kita. Ini harus bersifat objektif dan jujur, membuka sisi kelemahan dan kelebihan kita.
Komitmenlah pada standar itu lalu maksimalkan ikhtiar dan permohonan. Pada beberaa kasus, ada yang menurunkan standar (baik calon ataupun kapasitas diri) karena tak jua bertemu jodoh. Memendek dan memodiskan jilbab, berdandan menor, dsb. Apakah bertemu jodoh? Mungkin iya. Tapi dia telah kehilangan sekian masa proses penjagaan dirinya, yang bisa jadi akan berpengaruh pada kualitas jodoh yang (seharusnya) dia dapat. Perlu kita tanyakan pada diri: ingin di pilih sebagai siapa kita?
Bukan standar yang diturunkan, tapi ikhtiar yang kita tingkatkan. Pasrahkan masalah jodoh ini pada Allah, letakkan, bebaskan diri lakukan semua aktivitas kebaikan sebanyak-banyaknya. Berinvestasilah dengan kapasitas diri. Lalu nglembah dalam doa tawakal. Biasanya saat sudah semeleh, jodoh akan datang.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Februari 2015>