Keluarga (Tak) Berencana

Keluarga (Tak) Berencana

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

[Q. S. Ar. Ruum (30): 21]

Hadila.co.id — Hidup berkeluarga adalah impian bagi kebanyakan orang. Karena keluarga adalah salah satu sumber kebahagiaan. Namun sebagaimana dianalogikan, bahwa berkeluarga layaknya sebuah perjalanan bahtera mengarungi lautan, dengan berjuta tantangan dan kejutan; maka tercapainya ‘pulau’ kebahagiaan, tergantung pada ‘kemudi’ kita.

Keluarga adalah sebuah lembaga, yang seharusnya terorganisasi, meski bukan dalam pengertian yang kaku dan formal. Ada pemimpin, ada yang dipimpin, juga ada ikatan kerjasama di antara keduanya. Kerjasama yang seharusnya punya tujuan terukur, dengan cara pencapaian yang direncanakan.

Keluarga juga merupakan perpaduan tiga faktor pembentuk, yaitu; paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga dalam membangun keluarga, dan macam aktivitas yang ada dalam keluarga. Ketiga hal tersebut yang akan menentukan arah keluarga. Sementara itu, keluarga adalah perpaduan dari dua orang yang memiliki paradigma, kompetensi dan aktivitas yang berbeda. Karena itu, perlu ada sebuah penyatuan untuk kemudian dapat menetapkan perencanaan bagi ‘tumbuh’nya sebuah keluarga bahagia.

Separuh Jalan

Paradigma tentang keluarga, bagaimana pasangan memaknai sebuah pernikahan sering disebut visi atau resolusi. Sedangkan kompetensi dan aktivitas adalah deskripsi konkrit dari visi tersebut, yang dapat dikelola untuk merancang dan melaksanakan eskalasi-eskalasi yang bisa menjadi panduan bagi keluarga untuk mencapai tujuan. Jika visi lebih pada target atau capaian, maka eskalasi menjelaskan tahapan yang harus dilalui, termasuk juga dengan cara maupun waktu (timingnya). Hal ini yang sering luput dari perhatian kita. Seringnya, kita mempunyai visi, namun lupa menjabarkannya dalam eskalasi yang terencana.

Perencanaan keluarga sangat penting dilakukan, agar keluarga tidak hanya berupa sekumpulan orang yang tanpa arah tujuan, yang aktivitasnya hanya serupa rutinitas saja, yang sekadar menambah jumlah namun tidak menambah manfaat bagi sesama. Sebuah perencanaan yang baik, sama dengan separuh perjalanan (proses).

Hidup memiliki begitu banyak area untuk dieksplorasi, mendapatkan pemikiran dan direncanakan. Ada area hubungan; yang berbicara mengenai kualitas hubungan antar anggota keluarga. Ada area spiritual, yang berbicara mengenai kualitas hubungan anggota keluarga dengan Allah Swt, dimana kematangan berpikir, kebijaksanaan dan kesalehan (dalam makna yang luas) masuk di dalamnya. Ada area perkembangan keluarga; yang lebih mengacu pada sisi kesehatan, pendidikan, karir, prestasi atau pun keuangan keluarga.

Area satu keluarga mungkin akan berbeda dengan keluarga lain. Karena itu perencanaan, penjabaran visi dalam keluarga juga pasti akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lain. Karena masing-masing keluarga (pasangan), memulai dari ‘titik’ yang berbeda, dengan input dan kapasitas yang berbeda-beda pula. Meski demikian, yang menjadi poin pentingnya adalah, bahwa setiap keluarga harus berencana.

Bukan Banyak Sedikitnya

Porsi perhatian yang cukup besar pada konsep keluarga berencana, juga ditujukan pada anak (keturunan). Allah Swt berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [Q. S. An nisa (4): 9]

Perencanaan keluarga seharusnya mengarah pada planning parenthood (tandzim al-nasl/ mengatur keturunan), ketimbang sekadar bersifat birth control (pembatasan jumlah kelahiran). Menitikberatkan kepada perencanaan yang bertanggung jawab untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang aman dan tentram meski tidak dengan jalan membatasi anggota keluarga. Bukan pada banyak sedikitnya anak, melainkan pada terjaminnya pendidikan (tarbiyah) mereka yang terencana dengan matang oleh kedua orangtuanya.

Banyak kita temui, keluarga-keluarga dengan banyak anak namun sukses menjadikan anak mereka, juga sukses. Mereka memiliki perencanaan matang terkait pendidikan dan pengasuhan anak. Misalnya; anak pertama harus mampu menjadi role model bagi adik-adiknya, dalam usia tertentu harus sudah mandiri secara ekonomi, balig pasti hafidz, dll. Sehingga jumlah bagi mereka, bukanlah masalah, melainkan menjadi sebuah keistimewaan. Kuantitas sebanding dengan kualitas.

Sebaliknya, tidak sedikit kita temui, keluarga dengan sedikit anak, namun merasa sangat kesulitan mengasuhnya. Biasanya keluarga ini, menerapkan program Keluarga Berencana (KB), namun bukan keluarga yang cukup baik dalam berencana.

Mau Dibawa Ke Mana

Tidak ada kata terlambat untuk suatu kebaikan. Termasuk untuk merencanakan kehidupan keluarga yang lebih tertata dan terarah, meski idealnya perencanaan keluarga sudah harus dilakukan sejak kita hendak menikah atau memilih pasangan (tahap pra berkeluarga). Mengawali dengan pertanyaan, “Mau dibawa kemana keluarga kita” bisa menjadi pemantik pemikiran.
Bagi keluarga yang berada dalam posisi ini, dapat langsung membuat perencanaan keluarga yang sedang dijalani saat ini (tahap pro berkeluarga). Biasanya perencanaan yang ada di antaranya bagaimana membangun ketahanan keluarga, berusaha untuk memperjuangkan ekonomi dalam keluarga dengan halal, memperkuat relasi antar pasangan hidup, membangun kehidupan spiritual keluarga, perencanaan untuk menabung, dan pendidikan anak. Hingga selanjutnya perencanaan hidup anak-anak di masa depan seperti pekerjaan dan pilihan hidup lainnya (tahap post berkeluarga).

Sebagai seorang muslim, kita harus paham bahwa selain sebagai sumber kebahagiaan, keluarga adalah sarana untuk beribadah kepada Allah Swt, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal. Karena itu, membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, dalam rida Allah Swt, pastilah menjadi visi berkeluarganya. Dalam keluarga yang samara, kita akan melahirkan pribadi islami. Dengan visi itu, pasangan akan senantiasa berusaha membangun kompetensi (segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar), serta melakukan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan visi itu.

Banyak nilai-nilai dalam Alquran yang bisa menjadi panduan kehidupan berkeluarga. Pertama, konsep saling menjaga, yaitu bahwa keluarga harus menjaga diri dari api neraka. Kedua, konsep tolong menolong, bahwa dalam perencanaan dan pengelolaan keluarga suami-istri harus berbagi peran dan tanggung jawab. Ketiga, konsep kepemimpinan, yaitu bahwa suami adalah pemimpin yang harus memiliki visi yang kuat membawa keluarga menuju rida Allah Swt. Keempat, konsep syuro (musyawarah) dalam keluarga. Dan masih banyak lagi.

Nilai-nilai tersebut berguna untuk memaknai visi yang akan menjiwai setiap aktivitas dalam keluarga, sehingga keluarga menjadi keluarga yang visioner. Kemudian, keluarga visioner tersebut merancang langkah dan tahapan yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi itu. Membuat rencana jangka panjang, rencana jangka pendek, rencana ‘bayangan’ jika ada rencana yang tidak berjalan mulus, hingga mengevaluasi dan mengupdatenya dalam jangka waktu tertentu.
Keluarga yang berencana, tidak akan mudah goyah saat personilnya bertambah, atau bahkan berkurang. Karena arah mereka telah jelas dengan visi bersama. Hingga mereka cukup bertawakal, lalu mengiba, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Q. S. Al Furqan (25): 74]<>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos