Hadila.co.id — Menarik sekali membaca tulisan Karta Raharja, seorang wartawan koran, bahwa kesibukan di tempat kerja membuat banyak orangtua melupakan asupan gizi untuk buah hatinya. Tidak banyak ibu apalagi ayah di Indonesia, khususnya kota-kota megapolitan seperti DKI Jakarta, yang membawakan anak-anaknya bekal makanan untuk disantap di sekolah. Kebanyakan orang tua tidak mau repot lalu menjadikan uang jajan sebagai solusi.
Padahal, memberikan uang jajan berlebih, membuka lebih banyak peluang bagi anak untuk membeli jajanan di sekolah yang kebanyakan menggandung zat berbahaya bagi tubuh semacam formalin dan pewarna kain. Tengok saja survei dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sepanjang 2013, 99 persen pelajar di Indonesia membeli jajan di sekolah. Artinya, hanya satu persen pelajar yang terbebas dari jeratan jajanan berbahaya di sekolah.
Fenomena jajanan berbahaya sebenarnya sudah berlangsung sangat lama di berbagai sekolah di Indonesia. Berbagai upaya juga sudah mulai dilakukan. Mulai dari keinginan Kemenkes untuk mengawasi dan juga mengedukasi agar menjual makanan yang sehat, hingga yang dilakukan BPOM yang akan berkoordinasi dengan Kemendagri selaku pembina Pemda seluruh Indonesia agar ada pengawasan terhadap penggunaan zat berbahaya secara terpadu.
Pemkab Purwakarta pun sejak Maret 2013 melarang anak jajan sembarangan di sekolah. Meski menimbulkan pertanyaan—akankah efektif?—hal ini perlu mendapat apresiasi.
Beberapa Sekolah Islam Terpadu yang menyadari pentingnya menjaga jajanan bagi siswa melakukan pengelolaan snack (jajan) dan makan siang. Umumnya sekolah ini Full day, dimana kemudian jajan dan makan siang dikelola agar benar-benar aman dan bergizi seimbang. Siswa tidak diperkenankan jajan di luar.
Ada juga pengelolaan jajan, melalui kantin sehat, dimana para pedagang diedukasi sekolah kemudian berkomitmen tidak menjual jajanan berbahaya. Hal ini tetap disertai dengan edukasi kepada orangtua agar menyiapkan bekal makan bagi anak. Langkah-langkah kecil semacam itu kiranya bisa diikuti sekolah lain.
Kita tidak bisa membiarkan siswa untuk terus menerus mengonsumsi makanan yang bercampur zat aditif berbahaya. Alangkah baiknya jika sekolah, keluarga, pemerintah juga masyarakat bersama-sama peduli terhadap hal ini. Bukankah apa yang mereka makan ikut menentukan masa depan mereka? [Budi Santosa, S.Pd.I, Klaten | Dimuat Majalah Hadila Edisi Juni 2014]