Hukum Badal Haji dan Umrah

Hukum Badal Haji dan Umrah

Asalamualaikum, Ustazah. Bagaimana hukumnya orang yang membadalkan haji atau umrah orang yang sudah meninggal, apakah ada pahalanya? Terima kasih. (Hamba Allah)

 

Jawaban Ustazah Nursilaturahmah dari Ma’had Abu Bakar Putri UMS

Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara penanya yang dimuliakan Allah Swt, manusia diciptakan Allah Swt dengan tujuan untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang dimaksud dalam Islam berbeda dengan ibadah yang dipahami dalam agama lain. Di mana ibadah dalam agama lain hanya mencakup masalah ritual yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan dan dilaksanakan di tempat-tempat khusus saja, sedangkan ibadah dalam Islam memiliki makna yang sangat luas; mencakup semua aktivitas yang memberikan manfaat bagi pelakunya atau pun bagi orang lain; untuk dunia atau pun akhirat. Berhubungan sengan manusia (sosial) atau berhubungan dengan Rabbnya (ritual). Di mana ibadah-ibadah ini ada yang bersifat badaniyah, maliyah, bahkan ada yang bersifat badaniyah dan maliyah sekaligus.

Ibadah badaniyah seperti salat dan puasa Ramadan merupakan kewajiban pribadi yang tidak dapat diwakilkan atau dititipkan kepada orang lain. Namun, untuk ibadah maliyah seperti zakat, kurban, dan semisalnya, boleh diwakilkan kepada orang lain.

Sebagaimana kita ketahui, ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang menggabungkan antara badaniyah dan maliyah sekaligus, sehingga ibadah ini bisa diwakilkan kepada yang lain jika seseorang telah mampu secara finansial, tetapi yang bersangkutan memiliki kendala dan hambatan, secara fisik misalnya. Sebab seorang muslim yang telah memenuhi syarat isthitha’ (mampu) secara fisik dan finansial, wajib menunaikan ibadah haji sebagaimana firman Allah Swt, “Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah).[Q.S. Ali Imran (3): 97]

Namun jika secara finansial dia mampu, tetapi tidak mampu secara fisik karena sakit, lemah, atau bahkan telah meninggal dunia, maka kewajiban tersebut bisa diwakilkan kepada orang lain. Terutama jika orang yang sakit, lemah, atau telah meninggal dunia tersebut berwasiat kepada ahli warisnya untuk menunaikan kewajibannya.

Apabila tidak berwasiat untuk itu, maka keluarganya boleh saja menunaikan dengan harta benda yang ditinggalkan. Syaratnya, orang tersebut meninggal dalam keadaan muslim dan orang yang mewakili hajinya (baik dia dari kerabat mayat atau orang lain) harus sudah menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri. Selain itu, dia hanya boleh mewakili seorang saja. Maksudnya, seseorang tidak bisa mewakili ibadah haji untuk beberapa orang sekaligus. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat sebagai berikut:

Dari Ibnu ‘Abbas Ra, bahwa Nabi Saw pernah mendengar seseorang mengucapkan, “Labbaik ‘an Syubrumah (aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah, atas nama Syubrumah.” Nabi Saw lantas berkata, “Memangnya siapa itu Syubrumah?” Dia menjawab, “Syubrumah adalah saudaraku atau kerabatku.” Nabi Saw lantas bertanya, “Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab, “Belum.” Nabi Saw lantas memberi saran, “Berhajilah untuk dirimu sendiri terlebih dahulu, barulah engkau bisa berhaji atas nama Syubrumah.” [H.R. Abu Daud]

Selain dalam riwayat di atas disebutkan juga dalam hadis sahih, bahwa ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi Saw yang artinya, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrahkanlah dia,” jawab Nabi Saw. [H.R. Ahmad dan an-Nasa’i]

Kondisi orangtua dalam hadis ini telah berumur senja dan sulit baginya untuk menempuh perjalanan jauh dan serangkaian ibadah haji lainnya, maka ketika dia telah meninggal dunia, keluarganya dianjurkan untuk melaksanakannya. Apalagi jika orang tersebut masih kuat dan mampu, akan tetapi karena suatu hal dia akhirnya meninggal dunia, maka lebih dianjurkan lagi untuk dihajikan.

Di hadis lainnya yang sahih juga disebutkan bahwa ada seorang wanita berkata yang artinya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernazar untuk berhaji. Namun, beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu,”  jawab Rasulullah Saw. [H.R. Ahmad dan Muslim]

Lantas bagaimana dengan pahalanya? Apakah bisa sampai kepada orang yang dimaksud? Dengan izin Allah selain badal haji dan umrah ini dapat menggugurkan kewajiban seseorang yang diwakili, juga mendatangkan pahala untuknya sebagaimana sedekah yang bisa dilakukan oleh orang lain. Adapun orang yang mewakilinya, jika ikhlas lillahi Ta’ala juga akan mendapatkan pahala dari semua rangkaian ibadah yang dilakukannya terutama pahala dari amalan-amalan tambahan di luar rukun dan wajib haji seperti; salat, tilawah, dan lain sebagainya. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2018, Sumber foto: kilkuk.com>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos