Fikih Tadarruj dalam Pendidikan Anak

Fikih Tadarruj dalam Pendidikan Anak

Hadila.co.id — “Perintahlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat saat mereka berumur tujuh tahun; pukullah jika tidak mau salat saat mereka berumur sepuluh tahun; dan pisahkan mereka di tempat tidur.”

Matan hadis ini terdapat dalam Sunan Abi Dawud. Tepatnya, dalam Kitab Ash-Shalaat, Bab Mataa yu’mar al-ghulaam bis-shalaat: 495. Menurut imam Nawawi, sanad hadis ini hasan, sedangkan menurut Albani, sanadnya hasan sahih. (Lihat Shahih Abi Dawud 2/401).

Matan hadis ini berisi tentang ajaran salat dan pemisahan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan. Ia merupakan taujih nabawi (arahan kenabiaan) kepada para orangtua. Taujih ini tidak diarahkan langsung kepada anak-anak, karena mereka belum mukallaf. Para orangtualah yang punya tanggung jawab dalam mendidik, menyiapkan dan mengantarkan mereka menjemput masa dewasa. Rasulullah Saw bersabda, “… Laki-laki adalah pengemban anggota keluarganya. Wanita adalah pengemban rumah tangga suami dan anaknya. Setiap kalian adalah pengemban, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang dia emban.” [H.R. Bukhari & Muslim]

Semua harus ada fikihnya, tak terkecuali pendidikan anak. Tanpa fikih, semua urusan akan berantakan. Ibadah memiliki fikih yang disebut fikih ibadah. Dakwah memiliki fikih yang disebut fikih dakwah. Demikian pula pendidikan, dia memiliki fikih. Sebut saja fikih pendidikan.

Kebutuhan orangtua terhadap fikih pendidikan dalam mendidik putra-putrinya merupakan keniscayaan. Setidaknya, karena adanya keharusan berilmu sebelum bertindak. Begitu pentingnya hal ini, sampai-sampai Imam Bukhari menulis satu bab dalam sahihnya dengan judul al-ilmu qabla al-qaul wal-amal, ilmu sebelum berbicara dan beramal. Begitulah, sebelum bekerja, seseorang harus paham dulu ilmunya. Inilah yang dimaksud dengan fikih dalam kaitan ini. Di sini kita menemukan hikmah agung mengapa wahyu yang pertama kali turun berisi perintah membaca, iqra’. Intinya, harus berilmu lebih dulu.

Tanpa fikih pendidikan, aktivitas mendidik anak bisa jadi tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan berpotensi menimbulkan kerugian. Setidaknya, rugi waktu, materi, pikiran, dan energi. Semua bisa terbuang percuma dan sia-sia. Bukan mustahil ada orangtua berniat mendidik putra-putrinya, tapi faktanya, akibat tidak memahami fikih pendidikan, malah merusak dan menghancurkan masa depan mereka. Umar bin Abdul Aziz menuturkan, “Siapa yang bertindak tanpa ilmu, dia akan lebih banyak mendatangkan kerusakan daripada menghadirkan kemaslahatan.”

Perhatian Rasulullah Saw terhadap kondisi umatnya mengantarkannya memiliki kepedulian yang luar biasa pada masalah pendidikan anak-anak. Banyak petuah-petuah beliau terkait hal ini. Salah satunya ialah matan hadis yang sedang kita bicarakan. Melalui hadis ini, beliau mengajari para orangtua bagaimana mendidik putra-putrinya. Beliau mengisyaratkan salah satu unsur penting dalam pendidikan yang tidak boleh diabaikan. Unsur tersebut ialah tadarruj, bertahap. Penulis Kitab Al-Kasyif ‘An Haqaiq As-Sunan, saat mengomentari hadis ini, menjelaskan bahwa bila anak sudah menginjak usia tujuh tahun hendaknya diperintahkan untuk menunaikan salat agar terbiasa dan tidak merasa terbebani. Jika anak sudah menginjak usia sepuluh tahun hendaknya dipukul saat meninggalkan salat. Pada usia itu juga dipisahkan tempat tidurnya antara anak laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Fikih tadarruj ini sesuai dengan tabiat pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan berjalan sepanjang masa dan usia. Pendidikan mengalir dari sejak anak masih dalam buaian bunda hingga sebelum masuk lahad pusara. Tadarruj itu bertahap. Dia ibarat tangga, bermula dari usia anak-anak menuju usia dewasa. Sudah barang tentu dalam tiap tahapan usia ada cara yang berbeda. Tidak bisa, anak-anak dididik dengan cara mendidik pemuda dan dewasa. Juga tidak mungkin orang dewasa dididik dengan cara mendidik anak-anak dan pemuda. Mereka berbeda usia. Konsepsi tentang fikih tadarruj ini tampak secara tegas dalam narasi pendidikan yang dituturkan oleh Al-Baidhawi, penulis tafsir Anwar at-Tanzil wa Asraru at-Takwil. Al-Baidhawi mendefinisikan pendidikan sebagai aktivitas mengarahkan sesuatu pada kesempurnaannya sedidikit demi sedikit, secara bertahap.

Matan hadis ini juga mengisyaratkan bahwa kebaikan harus diperintahkan dan dibiasakan lebih dahulu sebelum menjatuhkan hukuman. Jika kelak pengajaran sudah dipahami dan kebiasaan sudah terbentuk, tentu tak perlu ada hukuman. Hukuman ada jika terdapat pelanggaran setelah pengajaran dan pembiasaan. Wallaahu a’lam.<Edisi Juni 2015, tema “Cerdas Petakan Potensi Anak”>

Rubrik Syarah Hadis Majalah Hadila, diampu oleh Ustaz Tamim Aziz, Lc., M.P.I

Editor: Rahmawati Eki P

 

 

 

 

 

 

 

 

Admin Hadila
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos