Dekat di Mata, Jauh di Hati

Dekat di Mata, Jauh di Hati

Hadila.co.id – Sering kita mendengar suami-istri memilih jalan cerai karena merasa sudah tidak cocok lagi. Kalau alasannya sudah tidak cocok lagi, berarti dulu pernah cocok, kemudian karena suatu hal menjadi tidak cocok. Nah, kenapa dulu cocok kemudian tidak cocok?

Coba flashback sejenak. Dulu ketika memutuskan bahwa seseorang layak menjadi suami atau istri kita, tentu setiap kita sudah mempertimbangkan banyak hal sehingga dari beberapa kriteria yang dibuat kita merasa ada banyak kecocokan (chemistry).

Kecocokan tersebut bisa ditentukan oleh banyak faktor. Orang Jawa membuat rumusan bobotbibit dan bebet. Sementara Rasulullah Saw memberi rumusan sekufu, cantik/tampannya, nasabnya, kekayaannya dan agamanya. Berbekal analisis banyaknya kecocokan tersebut kemudian setelah ditimbang-timbang bersama keluarga dan bahkan minta pertimbangan kepada-Nya lewat istikharah, ikatan pernikahan pun terjadi.

Jangan lupa, saat pernikahan terjadi, dua insan yang berbeda lawan jenis menyatu dalam ikatan suci. Dua insan yang berbeda budaya mengikat janji saling mengerti. Dua insan yang berbeda jenjang dan latar pendidikan menyatukan dua potensi. Dua insan yang berbeda status sosial bertekad melebur membangun lembaran baru dari nol. Semua berlandaskan keyakinan lebih banyak kecocokan, dibanding perbedaan yang ada.

Jika dulu lebih banyak kecocokan, kenapa kini menjadi tidak ada kecocokan lagi? Semua makhluk hidup di bumi ini selalu berubah, dinamis dari waktu ke waktu. Untuk menjaga agar kecocokan lebih dominan selama perjalanan bahtera rumah tangga, suami-istri harus saling menyesuaikan dengan perubahan pasangannya. Sekali lagi, saling menyesuaikan. Bisa istri yang harus menyesuaikan, atau sebaliknya.

Saat awal pernikahan, bisa jadi seorang suami statusnya masih pegawai biasa, setelah berjalan 15 tahun, kini menduduki posisi middle manajemen atau bahkan top leader di kantornya. Seorang suami yang di awal pernikahan status pekerjaannya sebagai wiraswastawan biasa, kini menjadi pengusaha, pejabat di eksekutif maupun legislatif. Seorang istri, di awal nikah, dulu pendidikannya S1, karena tuntutan profesi, sebagai dosen misalnya, kini sudah selesai S3, sementara suami masih D3.

Perubahan status sosial tersebut tentu membawa perubahan pada: teman pergaulan, pola pikir, gaya hidup, penampilan, dan lain sebagainya. Untuk menjaga harmoni dalam keluarga, sudah seharusnya suami atau istri bisa menyesuaikan dengan perubahan pasangannya. Jika tidak ada penyesuaian, akan tercipta kesenjangan, yang bisa memunculkan berbagai persoalan dalam rumah tangga.

Jika salah satu terus tumbuh berkembang, sementara yang satunya stagnan, akan tercipta jarak psikologis, dekat di mata tapi jauh di hati. Suami bisa merasa asing dengan istrinya, atau sebaliknya, karena banyak hal yang semakin jauh berbeda di antara keduanya. Wallahua’lam. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi April 2014. Sumber Foto: kabarbaikonline.com >

Penulis: Supomo, Pegiat Sosial dan Dakwah

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos