Sumber gambar: onesidedlove.com
“Lihat tuh Pak, tetangga sebelah. Suaminya rajin nemenin istrinya ke pasar.”
“Istri temanku dikasih uang sekian cukup untuk sebulan.”
“Suami temanku memberikan semua kartu banknya pada istri.”
“Mbok ya sesekali seperti ibu tetangga, pandai berdandan.”
Hadila.co.id — Pernah mendengar kalimat seperti itu? Pernah merasakan hal serupa?
Ketidakpuasan akan pasangan hal yang wajar dan sering terjadi. Mau menikah melalui proses perkenalan panjang, mau pendek; sejatinya pernikahan adalah berkumpulnya dua manusia yang berbeda latar belakang dan kebiasaan. Pasti banyak gesekan.
Gesekan timbul dari rasa tidak puas dan menuntut pasangan sesuai konsep ideal yang ada dalam pikiran. Dalam kondisi ini, mata menjadi lebih nyalang melihat sekitar. Tertangkaplah sosok-sosok yang—ndilalah nampak sangat sempurna, jauh dibanding pendamping saat ini.
Harus kita pahami lebih dulu, sosok (nampaknya) sempurna itu hanya kita lihat sesekali. Bisa jadi, sekadar mendengar cerita, bertemu pun tidak. Ada tangkapan sekilas yang pastinya bukanlah gambaran utuh sosok itu.
Suami tetangga itu memang rajin menemani istri ke pasar, tetapi amat cemburuan. Istri teman yang diberi uang berapa pun cukup itu, sebenarnya berutang pada rentenir tanpa sepengetahuan suaminya. Suami yang memberikan semua kartu bank itu ternyata isi banknya minim karena gaji sudah dipotong pinjaman bank. Ibu tetangga yang dijadikan role model itu, ternyata punya pacar di kantornya.
Tangkapan mata kita tentang pasangan orang lain sudah pasti tidak utuh. Tidak bijak jika kemudian mengukur pasangan dengan tangkapan parsial itu (bukan apple to apple). Lagi pula, sikap membanding-bandingkan, sangat kental dengan kurang syukur nikmat.
Iya, suami sulit diminta menemani ke pasar, tetapi sangat telaten mengasuh anak. Benar, istri selalu tidak cukup jika diberikan uang bulanan, tetapi sifatnya memang pemurah dan mudah tersentuh melihat penderitaan yang lain. Betul, suami tidak pernah terbuka tentang keuangan keluarga, tetapi jika bertemu keadaan yang menuntut membantu keluarga besar, suami terdepan membuka dompet. Iya, istri lugu dan berpenampilan kampungan, tetapi dia guru anak-anak yang disayangi banyak orang.
Saya selalu yakin pada firman Allah; “Bersyukurlah kamu, maka akan Aku tambahkan nikmatKu berlipat-lipat.” Bersyukur atas nikmat pasangan yang diberikan Allah pada kita, saya percaya, adalah salah satu pintu pembuka semakin dekatnya pasangan akan sosok ideal yang kita inginkan. Bukankah mudah bagi Allah untuk itu?
So? Rumput tetangga lebih hijau? Mari kita sepakati, itu hanya ilusi.
[Oleh: Maimon Herawati | Dosen Universitas Padjadjaran Bandung]