Sumber gambar: larasigurdson.com
Hadila.co.id — “Nggak mau, sudah punya sendiri kan,” kata kakak. “Adik mau yang itu!” teriak adik semakin keras. “Enggak,” kata kakak berlari keluar. Seketika terdengar tangisan adik. “Adik, Sayang, wow ada apa itu? Ayo lihat!” kataku mengalihkan perhatiannya.
Tidak berselang lama, “Bunda, Kakak mau mobil yang kayak itu!” teriak kakak sambil berlari masuk ke dalam rumah. Masih terengah, “Itu, Bunda, mobil milik Mas itu lho, Kakak mau yang itu!” semangat sekali dia cerita tentang mobil temannya. Padahal baru kemarin anak-anak memilih dan membeli mainan. Akhirnya, ahad pagi itu mengalirlah obrolan tentang menyayangi barang milik pribadi. “Tapi asyiknya kalau kita punya semuanya, Bunda,” kata adik. Namanya juga anak-anak, batinku sambil tersenyum.
Ayah-Bunda, sering kita temui anak-anak mempunyai sikap menginginkan barang orang lain. Mereka merasa bahwa barang milik orang lain itu lebih bagus. Padahal dia sudah mempunyai barang sejenis, dan seolah kalau sudah begitu maka barang milik pribadinya ‘kalah kelas’ dan menjadi tidak menarik lagi.
Ada beberapa hal yang dapat kita sampaikan kepada ananda terkait hal tersebut. Pertama, konsep dasar pertama yang kita tanamkan adalah bahwa semua yang dimiliki adalah rezeki dari Allah. Allah telah membagi rezeki dengan adil bagi setiap hambaNya. Pas, sesuai dengan takarannya dan tidak akan tertukar. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah bersyukur tanpa iri dengan apa yang dimiliki orang lain.
Kedua, sedari kecil perlu kita pahamkan kepada ananda bahwa tidak ada yang sempurna di dunia, tetapi selalu ada keunikan pada setiap hal. Ajarkan mencari sisi-sisi keunikan dari barang atau mainan yang mereka miliki, tetapi dengan menjelaskan pula keunikan barang lainnya. Poin pentingnya adalah karena itu yang kita miliki, maka sayangilah keunikannya.
Ketiga, memahamkan bahwa tidak semua hal bisa kita miliki. Karena kita hidup bersama dengan orang lain yang juga mempunyai keinginan. Menyukai milik orang lain boleh, tetapi ingin menguasainya harus dihindari. Kita contohkan semisal terkait dengan mainan, maka konsepnya adalah boleh saling meminjam, tetapi tidak boleh merebut karena itu bukan milik kita.
Ayah-Bunda, sedari kecil kita biasakan ananda untuk tidak gampang terpesona dengan barang milik orang lain. Istilahnya hidup itu, ‘sawang sinawang’ di mana kita merasa sepertinya orang lain begitu bahagia. Padahal sering kali orang lain juga memandang kita begitu. Wallahu a’lam bishshowab.
[Oleh: Lisda Farkhani, S.Psi. | Pemerhati Anak | Dimuat Hadila Edisi September 2014]