8 Landasan Memupuk Cinta agar Tidak Kering dan Layu

8 Landasan Memupuk Cinta agar Tidak Kering dan Layu

Oleh : Cahyadi Takariawan (Trainer dan Konselor di Jogja Family Center)

Hadila.co.id – Cinta dalam kehidupan suami istri bercorak fluktuatif dan dinamis. Untuk itu harus ada mekanisme untuk menjaga, merawat, dan memupuk cinta kasih agar tidak kering dan layu.

Bagi manusia beriman, cinta, dan kasih sayang bukanlah sesuatu yang tanpa nilai. Karena manusia beriman meyakini bahwa cinta hakiki adalah milik Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, upaya menumbuhkan dan memupuk cinta serta kasih sayang antara suami dan istri hanya bisa dicapai apabila menggunakan landasan yang kokoh dari ajaran-Nya. Beberapa landasan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, suami dan istri adalah pasangan. Laki-laki dan perempuan Allah ciptakan dalam format berpasangan, bukan berlawanan atau bermusuhan. Maka setelah menikah, sebagai pasangan mereka menjadi utuh karena saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri.” (Q.S. Ar-Ruum: 21).

Kedua, melaksanakan mu’asyarah bil ma’ruf. Allah memerintahkan kepada kaum lelaki agar mempergauli istri dengan cara yang baik atau patut, sebagaimana firman Allah Surah An-Nisa’ ayat ke 19. “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”

Ketiga, suami dan istri harus intim. Sebegitu intim dan intens interaksi antara suami dan istri, sampai digambarkan oleh Allah sebagai “pakaian”. “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 187).

Hal ini menandakan adanya bonding yang sangat kuat, hubungan yang sangat erat, kondisi yang sangat  intim, yang tidak dijumpai dalam interaksi manusia pada umumnya.

Keempat, bebas mengekspresikan kesenangan. Sebagai suami dan istri yang sah, mereka berhak bersenang-senang dengan berbagai macam ekspresi, sepanjang tidak melanggar aturan syariat. Maka ekspresi itu sangat leluasa, sebagaimana petani yang meladang. Ia bisa mendatangi ladang dari arah yang ia suka. Firman Allah, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 223).

Kelima, suami adalah pemimpin bagi istrinya. Rumah tangga harus ada yang memimpin. Tidak bisa dibayangkan seperti apa sebuah keluarga apabila tidak ada konsep kepemimpinan. Oleh karena itu, lelaki dijadikan pemimpin dalam keluarga, agar bisa memimpin dan membimbing istri serta anak-anak menuju surga dunia. Sebagaimana firman Allah, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (Q.S. An-Nisa (4): 34).

Keenam, istri menaati suami dalam hal yang tidak maksiat. Ketaatan istri bahkan menjadi salah satu jaminan penting untuk memasuki surga. Nabi Saw bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan salat lima waktunya, melaksanakan saum pada bulannya (Ramadan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (H.R. Ibnu Hibban). Tentu saja, para istri hanya wajib taat kepada suami dalam hal yang tidak maksiat kepada Allah.

Ketujuh, suami adalah penanggung jawab nafkah keluarga. Dalam kehidupan keluarga, tidak hanya ada kata cinta, rayuan, dan romantisme. Namun juga ada beban tanggung jawab ekonomi yang harus dipenuhi. Suami adalah penanggung jawab nafkah keluarga, maka ia harus berusaha untuk bisa mencukupi kebutuhan pokok untuk tegaknya kehidupan keluarga. Sebagaimana firman Allah, “Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisa (4): 34). Tidak masalah istri bekerja mencari nafkah, tetapi bukan merupakan kewajibannya.

Kedelapan, suami tidak boleh otoriter dan semena-mena. Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga mengharuskan adanya sikap cinta, kasih sayang, dan keadilan terhadap yang dipimpin. Kaum laki-laki tidak boleh mengaplikasikan kepemimpinan dengan sewenang-wenang, berlaku semena-mena terhadap istri dan anak-anak, atau mengembangkan tindak kezaliman.  Allah telah memerintahkan kepada para suami agar berkomunikasi dan berinteraksi secara bijak kepada istrinya.

“Dan bergaullah dengan mereka secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An Nisa’ (4): 19).

Muhammad Abduh menjelaskan, “yaitu menemani dan mempergauli istri dengan cara yang baik yang mereka kenal dan disukai hati mereka, serta tidak dianggap mungkar oleh agama, tradisi dan kesopanan. Maka mempersempit nafkah dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan, banyak cemberut dan bermuka masam ketika bertemu mereka, semua itu menafikan pergaulan secara baik.”<Majalah Hadila Edisi Februari 2019>

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos