Sebelum Dia Menjadi Mukalaf

Sebelum Dia Menjadi Mukalaf

 رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ.

Pena diangkat dari tiga orang  orang yang tidur sampai dia bangun; anak kecil sampai dia bermimpi; dan orang gila sampai dia berakal.

 

Matan hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Dawud dalam Awwal Kitaab Al-Huduud, Bab Fii Al-Majnuun Yasriq Au Yushiib Haddan: 4403. Terdapat juga dalam Sunan Kubra-nya Al-Baihaqi dalam Jimaa’u Abwaab Shalaat Al-Imam Qaa’idan Biqiyaam …, Bab Man Tajibu ‘Alaihi Ash-Shalaat: 5089. Al-Albani menilai hadis ini shahih. (lihat Ats-Tsamar Al-Mustathaab Fii Fiqhi As-Sunnat Wa Al-Kitaab, hal 54).

“Pena diangkat dari tiga orang.” Ungkapan ini merupakan bahasa kiasan. Bukan makna sebenarnya. Maksud dari ungkapan ini ialah bahwa ada tiga keadaan yang jika salah satu dari ketiga keadaan tersebut terjadi pada seseorang maka saat itu dia terbebas dari kewajiban syariah. Ketiga keadaan tersebut ialah tidur, usia kanak-kanak, dan gila.

“Anak kecil sampai dia bermimpi.”  Yang dimaksud dengan mimpi dalam ungkapan ini bukan sembarang mimpi. Semua orang bisa bermimipi. Tidak sekadar anak kecil, orang dewasa pun kerap bermimpi. Yang dimaksud dengan mimpi di sini ialah mimpi basah. Mimpi yang memicu keluarnya cairan semen di saat tidur. Dalam bahasa medis disebut emisi nocturnal. Mimpi ini menjadi pertanda bahwa seorang anak telah memasuki masa baligh.

Hadis ini mengisyaratkan bahwa kesadaran akal dan masa baligh menjadi syarat penting bagi seseorang untuk menjalankan kewajiban syariah. Artinya, orang yang tidak memiliki kesadaran akal dan belum baligh terbebas dari kewajiban tersebut. Dosa hanya ditimpakan kepada orang yang akalnya sehat dan telah dewasa. Karena itu, orang yang tidur dan dia tidak sadar menyatakan cerai pada istrinya, misalnya, ucapannya tersebut tidak berlaku. Karena itu pula, anak  kecil yang belum baligh, jika dia melakukan perbuatan dosa tidak dicatat sebagai dosa. Hal yang sama terjadi juga pada orang gila. Kendati demikian, bila perbuatan yang mereka lakukan menimbulkan efek kerugian material bagi orang lain, mereka tetap harus menanggung kerugian tersebut. Mereka hanya dibebaskan dari dosa.

Tidur, usia kanak-kanak, dan gila adalah tiga hal yang berbeda. Penanganannya pun harus berbeda. Tidur menjadi aktivitas rutin yang dijalani manusia. Ia menjadi pilihan, terserah apakah pada saat-saat tertentu seseorang mau tidur atau tidak. Gila adalah penyakit, semoga Allah Swt melindungi kita dan anak cucu kita dari penyakit ini. Ini merupakan ujian. Sementara itu, menjadi baligh merupakan tahapan yang, mau tidak mau, harus dijalani dalam pertumbuhan dan perkembangan setiap manusia. Ini keniscayaan. Terjaga dari tidur dan sembuh dari gila merupakan proses menuju kesadaran akal. Selanjutnya, setelah akal benar-benar sadar dan sehat orang harus menjalani kewajiban syariah sebagaimana sebelum dia tidur atau gila. Sedangkan, menjadi baligh merupakan proses menuju kedewasaan. Setelah dewasa, seseorang baru terkena kewajiban syariah. Saat itulah dia baru disebut mukalaf (orang yang wajib menjalankan hukum syariah). Untuk menyadarkan orang yang tidur cukup dengan dibangunkan. Untuk sembuh dari penyakit gila perlu terapi. Namun, untuk menjadi dewasa perlu arahan dan bimbingan.

Ya, untuk menyongsong masa baligh tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja dengan alasan bahwa semua orang pasti akan mengalami tahapan ini. Tapi, dia perlu perhatian, arahan dan bimbingan. Ini bukan main-main. Ini terkait masa depan anak. Ini dikarenakan anak kecil belum pernah menjadi mukalaf sebelumnya. Sehingga dengan arahan dan bimbingan, diharapkan, kelak saat dia baligh, akan memiliki pemahaman utuh tentang visi hidupnya; menyadari tentang hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah Swt; mengerti perintah dan larangan agama; bisa memilah dan memilih mana yang halal dan yang haram; dan paham konsekuensi pahala dan dosa yang harus dia tanggung akibat dari perbuatannya. Inilah hakikat dari pendidikan yang sesungguhnya, yaitu mengantarkan anak untuk menyongsong masa dewasa dan masa depannya. Seperti inilah Al-Baidhawi dalam tafsirnya, memahami pendidikan sebagai proses mengarahkan objek didik menuju titik kesempurnaan secara bertahap, sedikit demi sedikit. (lihat Tafsir Al-Baidhawi Vol I hal. 28)

Arahan dan bimbingan ini menjadi tanggung jawab setiap orangtua. Mereka adalah pendidik yang pertama dan utama bagi putra-putrinya. Ibnu Umar Ra menuturkan, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya.” (lihat Tuhfat al-Maudud Biahkam al-maulud hal. 225). Wallaahu a’lam.

[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin Nuha

Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Juli 2016]

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos