Parenting: Keseimbangan antara Membebaskan dan Membatasi

Parenting: Keseimbangan antara Membebaskan dan Membatasi

Hadila – Pada satu pagi yang cerah, kami sedang menerima taujih dalam ruangan serba guna. Di dalam ruangan tidak terlalu besar itu sekitar dua puluh ibu dan pembicara duduk melingkar. Di sekitar kami berlarian anak-anak dengan teriakan khas mereka. Ada dua yang berulang kali masuk ke dalam lingkaran sambil membawa bola mereka. Suara bising mereka kadang menenggelamkan suara pembicara.

Terganggu? Pasti. Saya melirik kiri dan kanan mencari siapa kira-kira ibu dua anak ini. Tidak ada yang nampak memiliki otoritas (baca: melarang) atas dua anak ini. Wajah menahan perasaan terganggu selain saya nampaknya ada juga. Pembicara jelas terganggu. Lumayan lama demikian.

Wah. Begini rupanya suasana pengajian di Indonesia. Di Inggris, jika kami kajian rutin, anak-anak akan asyik di ruangan berbeda. Yang ada di sekitar para ibu biasanya bayi. Saya memutuskan mengambil tindakan. ‘Nak, mainnya di luar, ya. Ini ibu-ibu mau mendengarkan pengajian dulu. Bawa bolanya keluar.’ Dua anak itu menatap sebentar, lalu kembali berloncatan.

Tidak didengar? Saya berdiri mengambil bola di tengah ruangan. ‘Ayo, ikut Bu Imun. Kita main di luar. Di sini, Ibu-ibu sedang belajar.’ Saya memegang tangan salah satunya. ‘Anak-anak main di luar.’ Saya menggiring mereka keluar.

Jelas nampak kekagetan pada paras dua anak itu. Saya kembali ke dalam. Ibu-ibu ada yang menatap dengan wajah ingin tahu. Ada yang berterima kasih. Saya tidak berusaha mencari wajah tersinggung karena sedang tidak ingin kontak mata dengan orang tua anak-anak ini. Di luar, salah satu langsung menangis. Salah satu ibu peserta keluar. Nampak dia menahan kesal. Oh, ini ibunya.

Kejadian serupa dialami teman yang lain. Ada kenalan bertamu membawa anak-anaknya. Anak-anak ini meninggalkan rumah seperti kapal pecah. Berloncatan di atas kursi sofa kesayangan tuan rumah. Liar seperti tanpa kendali.

Saya baru tahu bahwa di Indonesia dengan tren parenting yang tidak melarang anak sedikit pun. Alasannya, larangan atau kata tidak akan merusak sel otak anak. Saya tidak terlalu mendalami alasan spesifik larangan berkata ‘jangan’ ini. Bagi saya ini lelucon yang menggalaukan. Dari mana anak-anak akan belajar batas dan aturan jika tidak ada larangan dan suruhan? Tanpa mengenal aturan dan batas bersikap (bahasa lainnya akhlak), bagaimana mereka akan belajar akhlak mulia? Apakah pola ini yang melahirkan remaja tanpa manners atau adab dan etika?

Pada titik ekstrem yang lain, saya pernah menemukan keluarga yang menerapkan disiplin militer yang mencengangkan. Jam sekian anak dibangunkan. Jam sekian mandi. Lanjut makan sekian menit. Jam sekian duduk di meja belajar. Tiap jam berisi jadwal. Saya rasa, militer bisa saja kalah.

Pendekatan disiplin kaku begini, dalam pengamatan saya menghilangkan hubungan batin antara anak dan orang tua. Hubungan yang terbangun adalah hubungan atasan dan bawahan. Kering. Kaku. Kurang menghadirkan rasa aman dan nyaman yang seharusnya khas rumah. Rumah berasa barak tentara. Tidak ada  ‘home sweet home’, kata bule. Baiti jannati, kata ustaz.

Keluarga Muslim seharusnya menyeimbangkan dua hal ini: kedisiplinan dan kebebasan eksplorasi. Anak harus diajari batas bersikap yang dibolehkan dan dilarang. Saat bertamu, duduk di kursi dengan baik. Kaki menapak ke lantai. Tidak mengambil sajian makanan tuan rumah secara berlebihan.  Tidak boleh membuka kulkas tuan rumah. Tidak boleh masuk kamar tuan rumah. Jika ditawarkan main di ruangan lain, hanya boleh jika sudah diizinkan orang tua. Kalau ikut di pengajian, boleh duduk di dekat orang tua jika siap mendengarkan dengan diam. Kalau ingin main, main di halaman lokasi pengajian atau ruangan yang disediakan bagi anak-anak.  Anak-anak boleh membawa mainan, bacaan, dan makanan ke lokasi pengajian dan mereka harus mau berbagi dengan anak-anak yang lain.

Saat di rumah, anak-anak dan orang tua harus memiliki waktu untuk family time. Waktu kita bersama. Bentuknya bisa sekadar gegulingan di salah satu kamar. Bisa main scrabble bersama. Bisa sekadar minum minuman panas dan makanan ringan sambil melihat bintang. Diskusi dengan sendirinya akan mengalir alami. Eksplorasi.  Waktu emas ini juga masa bonding sesama anggota keluarga. Ikatan ini akan menjadi benteng anak saat menghadapi berbagai tantangan di luar rumah. Di rumah kudapatkan kekuatan dan ketenangan, kira-kira begitu.

Ada satu keluarga yang sangat berkesan bagi saya. Keluarga Palestina di perbatasan Turki-Suriah. Anak mereka semua perempuan. Saat kami berkunjung, mereka ramah, excited, dan demikian melayani. Saat ke toilet ada yang mengantarkan sampai ke depan toilet. Dia juga membawakan handuk untuk bebersih. Saat makan bersama, tamu demikian didahulukan. Mereka juga bertanya dan menjawab dengan sopan dan malu-malu. Luar biasanya, mereka bersemangat bercerita tentang kampung halaman yang tidak pernah mereka jejaki, Palestina. Mereka menyampaikan pandangan mereka dengan cerdas dan jelas. Kesan saya, anak-anak pintar yang berakhlak sangat mulia.

Saya tidak melihat praktek parenting kedua orang tuanya, tapi saya rasa ada keseimbangan antara kedisiplinan berakhlak mulia dengan kebebasan bereksplorasi. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2021>

Penulis:

Maimon Herawati (penulis, dosen Unpad Bandung)

 

 

 

 

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos