JAKARTA, HADILA — Konsep berpikir Rocky Gerung tentang kitab suci itu fiksi kembali mengemuka setelah polisi memanggilnya untuk dimintai keterangan.
Rocky Gerung, sedeianya Kamis (31/1/2019), memenuhi panggilan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Metro Jaya berdasarkan laporan Sekjen Cyber Indonesia, Jack Boyd Lapian. Namun diundur hingga besok (Jumat, 1/2) pukul 15.00 WIB.
Soal diksi ‘fiksi’ yang dilontarkan Rocky Gerung dalam acara Indonesian Lawyers Club (ILC) TV One yang bertajuk ‘Jokowi Prabowo Berbalas Pantun’ pada Selasa (10/4/2018) silam, Ahli Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Aceng Ruhendi Syaifullah memberi uraiannya.
Aceng menjelaskan, fiksi sebetulnya untuk memberikan label terhadap sebuah objek yang merupakan produk imajinatif. “Sesuatu yang diimajinatifkan, sesuatu yang mungkin terjadi, sesuatu yang diproyeksikan atau diyakini akan terjadi itu berada pada wilayah fiksional,” tegas Aceng yang juga doktor linguistik UI kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (31/1), seperti dikutip Geloranews.co.
Fiksi tidak ada hubungan dengan kebohongan apalagi penipuan. Karena manusia memproduksi berdasarkan sesuatu yang sudah terjadi atau disebut faktual.
“Makanya ada kata mungkin, boleh jadi, barangkali, mudah-mudahan itu sesuatu yang fiksional,” ujarnya.
Sedangkan fiktif itu sifatnya, mengarah sesuatu yang tidak terjadi.
“Ketika orang berbicara tentang sesuatu yang terjadi padahal tidak terjadi jadinya fiktif. Nah pada fiktif itu pada sebuah khalayan saja, untuk sesuatu yang sudah terjadi ya. Kalau yang belum terjadi enggak bisa dikatakan fiktif, kan belum,” urainya lebih lanjut.
Aceng mencontohkan fiksi dimaksudnya seperti ajaran agama tentang alam kubur, surga, dan neraka. “Belum terjadi kan,” imbuhnya.
Termasuk kitab suci juga menurutnya relevan dikatakan sebagai fiksi.
“Ketika Rocky misalkan ngomong kitab suci sebuah fiksi, dari segi manusia, sebagai objeknya, itu belum terjadi, baru akan terjadi,” ucapnya.
Aceng menambahkan, ketika meyakini sesuatu akan terjadi itu masuknya ranah iman, bukan lagi masalah rasionalitas atau yang bisa dipecahkan dengan akal.
“Diverifikasi tidak bisa lagi dengan akal pikiran. Karena akal pikiran hanya bisa memverifikasi yang sudah terjadi,” terangnya. (https://tinyurl.com/geloranew)