Anak Berbohong, Orang Tua Harus Bagaimana?

Anak Berbohong, Orang Tua Harus Bagaimana?

Hadila.co.id – Asalamualaikum. Bagaimana menerapi anak yang kadang ketahuan berbohong? (Hamba Allah )

 

Konsultan: Sinta Yudisia M.Psi, Psikolog (Pembina FLP dan Pelita-Pendampingan Psikologi dan Literasi)

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas pertanyaannya, Bunda.

Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, perlu digali berapakah usia Ananda? 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun? Setiap rentang usia membutuhkan perhatian dan pendampingan khusus. Anak usia TK yang dianggap ‘berbohong’ sesungguhnya tidak sedang melakukan tindak keburukan. Ia biasanya masih mencampur adukkan antara imajinasi dan realita.

Anak usia 10 tahun atau 15 tahun tentu berbeda. Orang tua perlu tahu jika anak berbohong: kapan ia biasa berbohong, alasan berbohong, apa isi kebohongannya, kepada siapa ia berbohong? Anak 10 tahun membutuhkan pendampingan, kasih sayang dan ketegasan. Anak sekitar usia 15 tahun membutuhkan ketegasan yang lebih dari orang tua.

Mari kita urai satu-satu.

Pertama, Kapan ia Biasa Berbohong?

Waktu-waktu tertentu anak berbohong, dapat menjadi data yang memudahkan orang tua untuk menghadapi dan menanganinya. Semisal, tidak enak badan, di hari Selasa ketika akan berangkat sekolah. Hal ini sudah berulang kali terjadi. Adakah guru atau mata pelajaran yang tak disukai?

Malam hari, ia terbiasa berbohong. Ketika jam 20.00 ke atas lampu kamarnya dimatikan, padahal kita memergoki ada lampu berkedip-kedip di kamarnya yang menandakan gadgetnya masih aktif di bawah selimut. Apakah yang ditontonnya? Apakah ia sedang mengontak teman-temannya atau melihat sesuatu yang tidak pantas?

Catatlah kapan waktu-waktu Ananda berbohong.

Kedua, Apa Isi Kebohongan?

Cermati isi kebohongan Ananda. Boleh jadi sebetulnya ia tidak berbakat jadi pembohong,  tetapi sedang cemas dan mencoba melarikan diri dari sesuatu. Isi kebohongan yang selalu sama menandakan bahwa ia sebetulnya tak mahir menipu orang. Misal, setiap hari tertentu alasannya adalah sakit. Sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, dan sejenisnya. Orang tua perlu menyadari bahwa ia tak sesungguhnya sakit, tetapi sedang menghadapi masalah yang di luar jangkauan.

Kalaupun isi kebohongannya menjadi lebih bervariasi, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa ia pembohong besar. Boleh jadi kecemasannya terhadap sesuatu semakin besar hingga ia mulai merangkai banyak cerita bohong.

Yang penting, catat terus isi cerita-ceritanya hingga suatu saat kita bisa mengkonfirmasi kebenaran kata-katanya.

Ketiga, Kepada Siapa Berbohong?

Perlu ditelusuri Ananda berbohong kepada siapa saja. Orang tua? Guru? Teman-teman? Ia tentu sulit berbohong sepanjang waktu kepada semua orang di semua tempat. Biasanya, manusia berbohong kepada seseorang karena ia memiliki tujuan terhadap orang yang dimaksud.

Misal, Ananda berbohong kepada orang tua tetapi tidak kepada gurunya. Rasa takut dimarahi, cemas akan ancaman dari orang tua; bisa jadi menyebabkan ia berbohong terus pada orang tua. Tujuan berbohong sebagai upaya penyelamatan agar ia tak dimarahi dan diinterogasi terus-terusan.

Keempat, Alasan Berbohong

Alasan berbohong dapat ditelusuri kepada siapa saja ia suka berbohong. Takut dimarahi terus-terusan, capek kalau terus menerus disalahkan, cemas kalau diancam dipotong uang saku, dan lainnya; biasanya hal ini dilakukan anak pada pihak yang punya otoritas.

Mengatasi Kebohongan Anak

Dengan data-data yang kita punya, orang tua dapat lebih bijak menangani Ananda. Berikut langkahnya:

Pertama, bersikap tenang, walaupun kita telah memiliki data cukup terkait kebohongan Ananda. Ingat, gunakan data fakta akurat agar anak tak merasa dihakimi dan akhirnya ia merasa lebih baik berbohong terus

Kedua, kendalikan emosi. Menemukan kebohongan anak dan ia masih menyangkal, memang memicu kemarahan orang tua. Namun, daripada melampiaskan sesaat, lebih baik berpikir bagaimana cara mengatasi yang efektif

Ketiga, bicarakan empat mata. Jangan membicarakan kebohongannya di tengah orang lain

Keempat, konfrontasikan kebohongannya dengan data yang kita punya. Usahakan dengan bahasa santai tetapi terasa jelas isinya.

Anak: “Aku gak masuk ya. Sakit banget kepalaku.”

Orang tua: “Kayaknya kamu Rabu pekan kemarin bilang sakit gigi ya? Rabu kemarinnya lagi diare.”

Anak: “Ah enggak, kok! Cuma pekan ini sama kemarin.”

Orang tua: “Coba Ibu lihat HP ya. Soalnya kan tiap kali kamu enggak masuk harus izin sama guru….Ah, ini ada tanggalnya. Kamu udah 4x Rabu enggak masuk ternyata.”

(Jika sudah ketahuan, jangan terangsang untuk menghakiminya dengan keras semisal, “Nah, kan!! Kamu bohong lagi!”

Orang tua: “Kamu kayaknya gak suka ke sekolah hari Rabu ya, Kak …(sebut namanya, agar ia lebih tenang dan merasa dicintai). Ada pelajaran atau guru yang enggak kamu sukai?”

Ketika komunikasi dua arah sudah terjalin, insya Allah anak akan lebih berani bersikap terus terang. Jangan menyerah dan teruslah mencoba ya, Bun. Berdoalah, insya Allah Allah memberkahi & memudahkan Bunda. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Agustus 2021>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos