Siapakah Pemburu Akhirat?

Siapakah Pemburu Akhirat?

Oleh: Supomo (Pegiat Sosial)

Hadila..co.id – Dunia itu sempit, akhirat itu luas. Dunia itu fana, akhirat itu abadi. Dunia itu hina, akhirat itu mulia.

Suatu ketika Rasulullah Saw melewati pasar bersama para sahabat. Beliau melihat bangkai anak kambing yang telinganya cacat. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang mau membeli ini dengan harga satu dirham?”

“Kami sama sekali tidak tertarik untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” jawab sahabat.

“Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?” tanya beliau lagi.

“Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah jadi bangkai?” kata para sahabat.

Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian.” (H.R. Muslim)

Rasulullah Saw tidak hanya sekali menyampaikan pesan dengan sangat jelas, bagaimana kita semestinya memiliki mindset terhadap dunia. Bukan hanya dalam kata-kata, Rasulullah Saw pun meneladankannya dalam kehidupan beliau sehari-hari.

Jika Rasulullah Saw menganggap urusan dunia demikian sepele dan hina, beliau melihat akhirat sebaliknya. ”Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Al-‘Ala : 17)

Sebagai hamba yang beriman, sudah sepantasnya kita berusaha meneladani Rasulullah Saw bagaimana menjadikan akhirat sebagai muara dari semua aktivitas. Lebih dari itu, bagaimana kita senantiasa punya sudut pandang akhirat dalam menghadapi peristiwa apa pun dalam kehidupan sehari-hari.

Orang yang hatinya senantiasa terpaut kepada akhirat; mendengar ada  kabar teman yang meninggal, membuatnya merasa kematian yang makin dekat; saat melihat api yang menyala-nyala, dia ingat akan neraka; saat sendiri dalam kegelapan, ia ingat alam kubur, bahkan saat menikmati makanan atau minuman yang lezat pun tetap saja menuntun dirinya ingat akhirat.

Imam Hasan al-Bashri, tatkala dijamu dengan air yang dingin nan segar, seketika beliau pingsan. Setelah siuman, beliau ditanya, ”Ada apa dengan Anda wahai Abu Sa’id?” Beliau menjawab, “Aku teringat akan harapan penghuni neraka tatkala mereka berkata kepada penghuni jannah, ”Limpahkanlah kepada kami sedikit air, atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” (Q.S. Al-A’raf: 50)

Peluang di Balik Utang

Utang dan piutang sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di tengah masyarakat. Meski sesuatu yang sudah lumrah, Islam sebagai agama yang sempurna memberikan rambu-rambu agar kita tidak meremehkan masalah utang tersebut.

Sebagai manusia sebagaimana kita, Rasulullah pun pernah memiliki utang pada seorang Yahudi. Tentu berutangnya Rasulullah Saw memiliki nilai tarbiyah untuk kita semua sebagai umat beliau. Rasulullah Saw telah memberikan keteladanan saat beliau membayar utang. Beliau melunasi utang tersebut tepat waktu, bahkan sebelum jatuh tempo.

Utang adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw untuk dihindari. Dari Aisyah Ra Rasulullah berdoa dalam salat, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit utang.”

Lalu ada seseorang yang bertanya, “Mengapa anda banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari.” (H.R. Al-Bukhari).

Meskipun perilaku utang diminta untuk kita hindari, peristiwa apa pun di dunia ini, senantiasa memiliki sudut pandang akhirat yang bisa membuka peluang kebaikan kita.

Rasulullah Saw menceritakan, “Saya melihat di saat saya diisra’kan pada pintu surga tertulis, shadaqah dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Memberi utang dilipatkan 18 kali lipat. Kemudian saya bertanya kepada Jibril, ‘Bagaimana orang yang memberi utang lebih utama dari pada bershadaqah?’ Kemudian Jibril menjawab ‘Karena orang yang meminta, (secara umum) dia itu meminta sedangkan dia sendiri dalam keadaan mempunyai harta. Sedangkan orang yang berutang, ia tidak akan berutang kecuali dalam keadaan butuh’.” (Sunan Ibnu Majah)

Al-Hakim dalam Fathul Qadir memberikan penjelasan dengan analogi seperti berikut; andaikan orang sedekah satu dirham, berarti Allah Swt akan membalas satu dirham modal yang ia berikan kemudian ditambah sembilan dirham sebagai bonus.

Sementara orang yang memberi utang orang yang butuh, dari sembilan dirham bonus tersebut dilipatgandakan. Jadi jumlahnya total adalah 19 dirham. Maka perbandingannya adalah sepuluh dengan 18.

Perilaku berutang itu sesuatu yang kita diminta untuk menghindarinya. Menunda-nunda pembayaran utang bagi yang mampu adalah bentuk kezaliman. Mewariskan utang hingga ajal datang, bisa membuat si mayit menemui banyak kerugian di akhirat. Namun, membebaskan utang orang-orang miskin adalah investasi yang mengalahkan investasi logam mulia.

Ada seorang laki-laki yang (suka) memberi utang kepada orang lain, kepada pegawainya  ia berkata, ‘Jika engkau mendatangi orang miskin maka bebaskanlah (utangnya), mudah-mudahan Allah membebaskan kita (dari siksa-Nya)’. Rasulullah Saw bersabda, ‘Maka orang itu menjumpai Allah dan Allah pun membebaskannya (dari siksa).’” (Muttafaq Alaih; Al-Bukhari, 6/379 dalam Al-Anbiya’ dan Muslim, 1562). <>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos