Oleh: Ustaz Suhari dari Klaten
Pada dasarnya manusia diciptakan lengkap dengan fitrahnya. Fitrah inilah yang menjadikannya tetap berada di atas jalan yang benar, jika dia diikuti secara konsisten. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar Rum: 30)
Secara umum, fitrah yang dimaksud oleh Allah Swt dalam ayat ini menurut para ulama ada kecenderungan untuk memegang agama tauhid (mengesakan Allah Swt semata). Namun fitrah yang suci ini seringkali dirusak oleh setan melalui lingkungan dan orang tua. Inilah yang ditegaskan oleh Baginda Nabi Saw dalam sabdanya, “Sesungguhnya setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah. Kedua orangtuanya lah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani maupun Majusi.” (H.R. Muslim)
Secara rinci, fitrah yang dimaksud ini meliputi tiga aspek;
Pertama, keyakinan akan keberadaan Sang Khaliq. Semua manusia, termasuk kaum atheis menyakini bahwa alam semesta ini tercipta, bukan terjadi tiba-tiba. Sebagai bukti sampai hari ini tak ada satupun manusia yang mengaku telah menciptakan alam semesta ini, hingga Fir’aun pun tidak melakukannya. Dia hanya mengaku sebagai tuhan yang wajib disembah, tetapi gagal membuktikan dirinya bisa menerbitkan matahari dari barat sebagaimana Allah telah menerbitkannya dari timur. Hal itu tertuang dalam Alquran Surah Al Baqarah ayat 258.
Kaum musyrik zaman dulu jauh lebih objektif daripada orang-orang musyrik saat ini. Simaklah dialoq Alquran dengan mereka terkait tema ini; “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Q.S. Al Mu’minun (23): 84-89).
Kedua, kecenderungan untuk menyembah tuhan. Kecenderungan ini menjadikan manusia menganggap bahwa pohon-pohon besar, batu-batu besar, berhala, patung, matahari, bulan, bintang, planet, angin, api bahkan hewan sebagai tuhan yang wajib disembah. Artinya, secara alami mereka meyakini adanya tuhan lalu keyakinan ini mendorong mereka untuk menyembah benda-benda dan makhluk-makhluk tersebut. Kondisi inilah yang melatarbelakangi diutusnya Nuh As dan rasul-rasul berikutnya kepada kaumnya hingga Muhammad Saw. Manusia yang dibekali dengan fitrah untuk meyakini adanya tuhan dan menyembahnya ini harus dibimbing. Dan menjadi ‘kewajiban’ Allah untuk mengirim utusan-Nya untuk menjalankan misi ini agar manusia tidak tersesat. Tugas setiap rasul adalah mengenalkan manusia kepada Sang Pencipta dan mengajarkan kepada mereka tata cara untuk menyembah-Nya. Hal ini karena Allah Swt, Sang Pencipta yang wajib disembah tidak berkenan disembah secara sembarangan dan tanpa aturan atau sesuai selera manusia. Inilah inti risalah para Nabi dan rasul yang diutus Allah untuk setiap generasi sejak Nabi Nuh As hingga Nabi Muhammad Saw, sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah An nahl ayat 36.
Ketiga, keinginan untuk hidup damai dan teratur. Tak ada manusia yang ingin hidup semrawut, carut marut, dan penuh dengan konflik. Ini fitrah manusia sejak lahir. Jika ada yang menginginkan sebaliknya, pasti fitrahnya telah rusak. Sebab kerusakan fitrah ini adalah kecenderungan manusia untuk mengikuti nafsu dan bisikan setan, hingga bumi yang damai ini berubah menjadi medan perang yang ganas. Manusia saling bunuh membunuh karena rebutan makanan dan kekuasaan. Mereka menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Karena pengaruh nafsu yang liar dan bisikan yang menipu, manusia cenderung menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal sehingga kehidupan dunia menjadi runyam, seolah tanpa aturan.
Maka selain, mengenalkan manusia pada Sang Pencipta dan mengajarkan tata cara beribadah, Rasul juga memiliki tugas menyampaikan pedoman hidup agar manusia bisa hidup damai dan teratur. Bahkan jika umat Islam terpaksa harus berperang demi menghilangkan kezaliman, Nabi Saw tidak henti-henti mengingatkan; “Jangan bunuh kaum wanita, anak-anak, orang-orang jompo, dan mereka yang bersembunyi ditempat-tempat ibadah! Jangan kalian bakar rumah-rumah, gereja, dan kebun-kebun!” hingga dalam kondisi perangpun diatur sedemikian rupa agar umat Islam tidak bertindak barbar.
Mengenalkan manusia kepada Allah Swt, mengajari mereka tata cara beribadah kepada-Nya dan menyampaikan pedoman hidup (syariah) inilah hikmah diutusnya para rasul dan manusia sangat membutuhkan itu. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2018, Sumber foto: tajuktimur.com>