Oleh : Cahyadi Takariawan (Konsultan Keluarga Nasional)
Hadila – Kehidupan berumah tangga sangatlah unik. Suami dan istri sebagai pembentuk utama sebuah keluarga, memiliki corak hubungan yang spesifik. Sedikitnya ada tiga hal yang memicu terjadinya pertengkaran suami istri. Hal itu harus dikenali jika seseorang ingin bahagia.
Hidup bersama dalam waktu yang lama tanpa ada pertukaran peran atau rotasi jabatan, sudah barang tentu banyak menimbulkan persoalan kejenuhan apabila tidak pandai mengelola dan menyegarkan suasananya. Sering dijumpai hal-hal kecil dan sederhana mudah memicu konflik dan pertengkaran di antara suami dan istri. Hal-hal sederhana yang secara logika dan akal sehat seharusnya tidak perlu dipersoalkan, dalam kehidupan keluarga justru bisa menimbulkan pertengkaran.
Suasana kebahagiaan yang sudah terbina begitu lama, terkadang mudah rusak oleh hal-hal kecil dan rutin yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak hal remeh dan sederhana yang bisa memicu pertengkaran suami istri, yang akhirnya merusak suasana kebahagiaan di antara mereka.
Pertama, perbedaan standar dalam kehidupan keseharian. Suami dan istri dilahirkan, dididik, dan dibiasakan dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing membawa standar dan kebiasaan yang berbeda dari rumah orang tuanya. Misalnya standar kebersihan dan kerapihan yang berbeda, standar tentang kemewahan dan kesederhanaan yang berbeda, standar tentang kedisiplinan dan toleransi yang berbeda. Hal ini kerap memicu pertengkaran antara suami dan istri.
Hendaknya suami dan istri mencoba saling memahami, tetapi juga berusaha saling berbagi. Mereka sudah memiliki keluarga sendiri, yang terlepas dan berbeda dari keluarga orang tua masing-masing. Mereka harus mencari dan menyepakati standar yang mereka gunakan dalam menata rumah tangga yang dibangun berdua.
Kedua, tuntutan romantisme ala medsos. Konon, banyak manusia zaman sekarang yang mudah terpengaruh oleh postingan medsos yang menghadirkan romantisme semu. Kisah cinta pasangan seleb yang kerap menampilkan kemesraan di media sosial, telah menghipnotis banyak pasangan suami istri, sehingga mereka memiliki harapan dan keinginan yang sangat tinggi akan kehidupan yang penuh nuansa roman. Sering kali hal ini menjadi tuntutan yang tidak mampu dipenuhi.
Keterpengaruhan dari postingan romantisme di medsos tersebut ternyata bisa membuat mereka menjadi tidak bahagia apabila tidak mendapatkan sentuhan romantisme seperti yang mereka lihat pada postingan banyak pasangan. Padahal itu hanya postingan, bercorak pencitraan, dan semu, bukan realitas yang sesungguhnya.
Mereka yang terlalu larut oleh tekanan romantisme medsos, bisa menjadi pesimis akan cinta, bahkan bisa sampai tingkat putus asa. Merasa tidak mendapatkan cinta dan romantisme dari pasangan, dan menuduh pasangannya tidak normal karena tidak bisa berlaku seperti lelaki lain yang sering dilihat di medsos.
Hiduplah di alam nyata. Bangunlah romantisme dengan pasangan tercinta. Jangan menjadikan foto dan quotes di medsos sebagai standar romantisme. Karena ada banyak wujud romantisme lainnya yang bisa Anda dapatkan dan Anda nikmati bersama pasangan.
Ketiga, membiarkan bertumpuknya emosi permasalahan. Apakah suami istri yang tidak pernah bertengkar itu baik? Belum tentu. Bisa jadi pasangan suami istri yang tidak pernah bertengkar itu justru tengah menunda terjadinya sebuah pertengkaran yag sangat besar. Jika ada perbedaan pendapat di antara suami dan istri, sebaiknya segera dibicarakan dengan baik-baik dan dicari jalan keluarnya secara dewasa. Jangan didiamkan atau dibiarkan saja berlarut-larut.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Michigan University menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan yang jarang bertengkar justru banyak menyembunyikan rahasia satu sama lain. Pasangan yang memilih untuk hidup adem ayem dan menjauhi pertengkaran ternyata menyembunyikan lebih banyak ganjalan di hati, karena hanya menghindari pertengkaran.
Persoalan yang bertumpuk-tumpuk tanpa penyaluran dan penyelesaian, akan membuat kehidupan keluarga tidak nyaman dan tidak bahagia. Suasana tertekan membuat suami dan istri semakin menjauh satu dengan yang lain. Kebahagiaan yang sudah terbangun selama ini bisa rusak oleh menumpuknya emosi persoalan yang tak tersalurkan atau tak terselesaikan.
Maka dalam beberapa konteks, pertengkaran dipandang positif karena menjadi kanal bagi emosi persoalan. Setelah tersalurkan, emosi akan reda dan membuat suasana kembali normal. Kebahagiaan bisa kembali didapatkan apabila tidak ada penumpukan beban permasalahan. Namun, yang lebih penting lagi adalah penyelesaian masalah, sehingga tidak menumpuk dan siap berubah menjadi ledakan.
Keempat, asyik sendiri, abaikan pasangan. Salah satu persoalan yang kerap dihadapi keluarga modern adalah, keasyikan dengan gadget dan internet. Atas alasan apa pun, terkadang suami atau istri sangat asyik dengan gadgetnya, asyik dengan dunianya sendiri, sehingga mengabaikan keberadaan pasangan. Suami yang baru saja pulang kerja, sampai di rumah menjumpai istri asyik chatting melalui medsos, sehingga membiarkan suami tanpa dilayani.
Di tempat lain, istri yang berharap bisa bermesraan dan bercengkerama dengan suami sepulang kerja, ternyata merasa diabaikan. Sang suami lebih memilih sibuk sendiri, mengerjakan aktivitas bersama gadget, dan tidak mempedulikan keberadaan istri. Sebagian yang lain, asyik dengan hobi. Apapun alasan keasyikan ini, tindakan mengabaikan pasangan berpotensi merusak kebahagiaan. Suami atau istri merasa sakit hati dan membuat kehilangan gairah kebahagiaan bersama pasangan.
Hendaklah pasangan suami istri saling peduli satu dengan yang lain. Biasakan memiliki family time, ajak pasangan dalam keasyikan Anda. Ciptakan keasyikan bersama pasangan, jangan asyik sendiri. Jangan biarkan kebahagiaan dalam keluarga dirusak oleh hal-hal kecil dan sederhana. Mendekatlah kepada pasangan, jangan saling menjauh. <Majalah Hadila Ediis Juli 2019>