Syarat-syarat Diterimanya Syahadatain (Bagian 3)

Syarat-syarat Diterimanya Syahadatain (Bagian 3)

Syahadatain bukanlah sekadar ucapan manis di bibir tanpa amal dalam realita kehidupan sehari-hari. Iman bukanlah pepesan kosong dan janji tanpa bukti. Syahadatain baru akan memiliki bobotnya jika semua syaratnya dipenuhi. Syarat-syarat diterimanya dua kalimat syahadat merupakan pembuktian janji kita kepada Allah Swt lewat syahadat yang kita ucapkan.

Para ulama mengatakan bahwa syarat diterimanya syahadatain ada tujuh yaitu; ilmu, keyakinan, ketundukan, penerimaan secara total, ikhlas, kejujuran, dan cinta. Berikut, syarat berikutnya:

 

Lima; cinta yang menolak kebencian

Ibnu Taymiyyah Ra menyatakan bahwa agama ini hanyalah cinta dan benci. Cinta kepada keimanan dan benci dengan kekufuran. Cinta kepada ketaatan dan amal salih dan benci kepada maksiat dan kerusakan. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan benci kepada thagut dan pengikutnya. Cinta kepada manusia yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci semua manusia yang menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Swt berfirman: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. [Q. S. Al Baqarah (2): 165]

Maka, tatkala Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah Saw bahwa beliau adalah orang paling dia cintai, seperti dia mencintai dirinya sendiri, Rasulullah Saw pun berkata: “Tidak wahai Umar! Tidak akan sempurna imanmu hingga engkau mencintaiku melebihi dirimu sendiri.”

Maka kelak ketika Nabi Saw wafat, Umar hampir tidak percaya. Dia kalap dan kalut, hampir tak mampu menguasai dirinya. Dia bahkan mengancam akan membunuh siapapun yang berkata bahwa Nabi Saw telah wafat. Hingga Abu Bakar menenangkan dan mengingatkannya dengan Alquran Surah Ali Imran ayat 144. Hal ini terjadi karena ia benar-benar mencintai beliau melebihi dirinya. Bukan karena Umar menolak kepastian kematian.

Dalam episode yang berbeda; ketika salah seorang sahabat Nabi Saw yang mulia, Zaid bin Datsinah yang ditawan oleh kaum kuffar Quraisy hendak dieksekusi. Mereka membawa Zaid keluar dari Al Haram Al Makki. Saat itu Abu Sufyan bertanya kepadanya: “Aku bersumpah kepadamu, hai Zaid. Apakah kamu mau seandainya Muhammad Saw sekarang ini kami hukum sebagai penggantimu dan kamu kami kembalikan kepada keluargamu?”

Zaid menjawab dengan sangat tegas: “Demi Allah aku tidak rela jika sekarang ini Muhammad terkena duri sedikit pun sedangkan aku duduk bersama keluargaku.”

Mendengar jawaban Zaid ini, Abu Sufyan berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabatnya seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad.”

Inilah jiwa para sahabat. Jiwa yang disesaki rasa cinta yang tulus kepada junjungan dan pujaan hatinya yaitu Muhammad Saw. Cinta yang membawa mereka pada pengorbanan. Orang yang tidak memiliki rasa cinta seperti ini, tak akan sudi untuk berjuang dan berjihad di jalan Allah Swt. Karena perjuangan dan jihad amatlah berat dan melelahkan. Maka Allah Swt membimbing kita agar lebih mencintaiNya daripada apapun jua.

Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [Q. S. At Taubah (9): 24]

Mereka yang enggan keluar dari rumahnya untuk berjihad di jalan Allah karena lebih mencintai dunia, Allah cela dengan celaan yang amat menghinakan; “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah.” Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. [Q.S. At Taubah (9): 38]. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Februari 2015>

 

Penulis: Ustaz Suhari Abu Fatih, pegiat dakwah dari Klaten

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos