Senantiasa Mencintai Pasangan dalam Ketidaksempurnaan

Senantiasa Mencintai Pasangan dalam Ketidaksempurnaan
Sumber gambar: saliha.id

Hadila.co.id — Merasa pasangan orang lain lebih baik dari pasangan kita, muncul dari sifat tidak puas. Apakah hal ini bisa mengusik keharmonisan rumah tangga? Berikut wawancara Hadila dengan ibu enam orang anak yang sangat aktif dalam edukasi keluarga; Ida Nur Laila, S.Si. Apt, Konselor Sosial dan Trainer Jogja Family Center (JFC).

Salah satu sifat manusia adalah memandang orang lain lebih baik dari diri sendiri, wajarkah?

Memandang orang lain lebih baik dari diri sendiri jika dilihat dari sisi manusiawi, wajar saja. Artinya mungkin terjadi pada diri manusia. Namun apakah ini benar atau tepat, ini yang perlu ditelisik lebih lanjut. Saat sebagai pribadi kita memandang orang lain lebih baik, dan kita pun ingin menjadi lebih baik, terpacu tingkatkan amal, saya kira ini adalah hal yang positif. Iri kepada kebaikan orang lain, yang melahirkan sikap positif dibolehkan. Itu yang disebut fastabiqul khairat.

Bagaimana kecenderungan ini bisa muncul?

Setiap manusia mencintai dirinya sendiri dan menginginkan yang terbaik. Saat memilih sesuatu, dia akan mencari yang terbaik untuk dirinya. Demikian pula saat memilih pasangan, tentu dia berusaha memilih yang paling baik untuk dirinya.

Namun manusia juga memiliki sifat tidak pernah puas. Dia akan melihat pada perolehan orang lain dan membandingkan dengan miliknya, sementara itu ada makhluk lain musuh manusia yang bernama syaithon. Syaithon ini di antara pekerjaannya adalah tazyin atau memperbagus sesuatu untuk menarik hati manusia. Terutama terkait semua yang menyimpang dari kebaikan. Setelahnya ia mengembuskan rasa iri untuk mengingini kenikmatan orang lain dan kufur apa yang digenggamnya.

Lebih khusus jika kecenderungan ini muncul dalam konteks pasangan. Berbahayakah?

Wah, berbahaya sekali. Allah perintahkan untuk manusia menundukkan pandangan bukan tanpa sebab. Allah Mahatahu bahwa pandangan yang tidak diatur bisa berujung madharat. Melihat orang lain yang bukan mahram dengan leluasa, lalu membandingkannya secara fisik, sifat, dan seterusnya akan memengaruhi pemikiran, perasaan, dan terekspresi pada ucapan atau tindakan.

Saya ingat cerita seorang sahabat sebelum dia menikah. Gadis ini lumayan cantik, dengan profesi yang menjadi idaman banyak orang dan dari kalangan terpandang. Dalam proses nikahnya yang ‘bersih’, dia berjodoh dengan seorang lelaki yang cukup jauh berpaut usia. Lelaki yang sungguh biasa saja. Gadis itu tak pernah mengenalnya secara pribadi, bahkan hanya dari selembar foto buram.

Ibunya agak terkejut melihat calon menantu saat datang melamar. Sebagai ibu yang bijak, beliau berpesan. “Nduk, kamu sudah mantep betul dengan calonmu? Ketahuilah sebelum engkau memutuskan, maka bukalah matamu lebar-lebar memilih orang yang terbaik. Ada banyak pilihan dan engkau yang memilihnya untuk dirimu. Jika engkau telah memilih, maka tutuplah matamu. Anggaplah suami itu adalah lelaki terbaik dan paling tepat untukmu.”

Saya sungguh terkesan dengan kisah nyata ini lantaran pasangan itu kemudian menikah dan mereka dikaruniai samara hingga hari ini. Pesan sang bunda itu selalu saya ingat dan saya pesankan pada anak gadis saya.

Jika engkau telah memilih, maka tutuplah matamu. Anggaplah suami itu adalah lelaki terbaik dan paling tepat untukmu.

Apa akibatnya bagi keharmonisan rumah tangga?

Pada awalnya hanya berpikir, lama kelamaan mengganggu perasaan. Jika sampai terucap sanjungan, kekaguman atau mulai membandingkan pasangan, pasti akan menyinggung perasaan.dan mengganggu keharmonisan keluarga. Tidak ada orang yang suka dibandingkan, apalagi oleh pasangannya sendiri.

Apakah ini karena kita kurang bersyukur?

Betul sekali. Orang yang selalu menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain adalah orang yang kurang bersyukur. Dia mengira kehidupan orang lain lebih menyenangkan dan lebih beruntung. Saat sibuk menghitung nikmat orang lain, ia melupakan kehidupannya sendiri, kenikmatan yang diperoleh. Padahal janji Allah: Barang siapa yang bersyukur maka Allah akan menambah nikmatnya. Barang siapa kufur maka azab Allah sangat pedih.

Apa yang harus dipahami dari pasangan masing-masing agar hal ini tidak muncul?

Ikhlas menerima pasangan, syukur nikmat pada takdir Allah atas pasangan kita, mengetahui adab-adab bergaul dalam rumah tangga dan adab pergaulan dengan sesama manusia. Terus saling membaguskan kepribadian pasangan, keimanan, ibadah, dan akhlak dengan nasihat yang baik. Berusaha melihat sisi-sisi positif yang dimiliki oleh pasangannya dan memaafkan kekurangan pasangannya. Tidak ada orang yang sempurna.

Hal konkret apa yag harus dilakukan dalam rumah tangga untuk mengantisipasi ini?

Pertama, untuk para istri jangan pernah menceritakan kelebihan lelaki lain di hadapan suami Anda. Untuk para suami jangan pernah menyebut perempuan lain dengan kekaguman di hadapan istri Anda. Kedua, masing-masing menjaga dan menerapkan adab pergaulan dan menjaga agar tidak terjerumus dalam fitnah. Ketiga, masing-masing selalu meningkatkan kualitas dirinya dan memberikan yang terbaik kepada pasangan agar terawat saling cinta jangka panjang. Keempat, lebih memerhatikan sisi kebaikan pasangan dan memaafkan kekurangannya. Kelima, selalu menyukuri nikmat Allah dengan rezeki jodoh yaitu pasangan kita sendiri. [Dimuat Hadila Edisi September 2014]

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos