Menyambung Warisan Sang Pangeran

Menyambung Warisan Sang Pangeran
Sumber foto: sejarahlengkap.com

Oleh: Mukhamad Shokheh (Dosen Ilmu Sejarah Unnes)

Hadila – Pangeran Diponegoro, adalah seorang pribadi multidimensi. Di dalam dirinya melekat citra diri bangsawan Jawa, santri, sekaligus pejuang. Ia dikenang berkat jasa dan perjuangannya berperang melawan penjajah Belanda pada 1825-1830. Sebuah pertempuran terbesar dalam sejarah Indonesia abad ke-19, yang juga dikenal sebagai perang Jawa.

Pangeran Diponegoro lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia yang memiliki nama asli Raden Mas Antowiryo adalah putra pertama dari Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta dari istri bernama R.A. Mangkarawati. Meskipun anak raja, sang pangeran biasa dengan kehidupan yang sederhana dan merakyat. Dalam kesehariannya, ia tidak tinggal di lingkungan keraton, akan tetapi menetap di rumah dari neneknya di Tegalrejo.

Membela Agama dan Bangsa

Perlawanan Diponegoro melawan pasukan Belanda berawal pada Mei 1825, dilatarbelakangi oleh rencana pemerintah kolonial yang akan membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang yang melintasi Tegalrejo, yang notabene merupakan daerah tinggalnya dan di tempat tersebut terdapat tanah pemakaman leluhurnya. Kemarahan Diponegoro ditunjukkan dengan mengganti patok-patok di atas tanah makam  dengan tombak sebagai simbol perlawanan. Atas tindakannya, pemerintah kolonial mengepung kediamannya. Namun, sang pangeran telah lebih dahulu mengungsi dan membangun basis perlawanan di sekitar Gua Selarong daerah Bantul.

Dukungan penuh dari rakyat, ulama, serta kaum bangsawan terhadap perjuangan Diponegoro terus mengalir. Perlawanan inilah yang menaikkan citranya, dari sekadar bangsawan Mataram, menjadi ratu adil tanah Jawa. Ikut bergabungnya ulama di antaranya Kiai Mojo dan Alibasaha Sentot Prawirodirjo menambah semangat juang pasukan dalam jihad fii sabilillah melawan kezaliman penguasa. Peter Carey seorang sejarawan Inggris dalam karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, menemukan 108 kiai, 31 haji, 15 syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 mursyid tarekat yang turut berperang bersama Diponegoro (Carey, 2011)

Dalam rangka menghadapi tentara Belanda, Diponegoro dan pasukannya menggunakan strategi gerilya, dengan cara hit and run. Alhasil, pada awal peperangan di tahun 1825-1826, Diponegoro meraih banyak kemenangan di Kulonprogo, Purworejo, Gunung Kidul, Pacitan, Magetan, Madiun dan daerah lain. Belanda kesulitan menghadapi gerilya Diponegoro, sampai akhirnya ditemukan strategi Benteng Stelsel yakni membangun benteng pertahanan dalam rangka mempersempit wilayah gerak gerilyawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, Jenderal De Kock membangun sekitar 258 benteng di seluruh Jawa tengah dan Jawa Timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828 (Djamhari, 2004).

Akibatnya, pasukan Diponegoro semakin terjepit dan Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan setelah para pejuang banyak yang tertangkap dan dibuang. Kondisi ini membuat Diponegoro berpikir untuk menerima tawaran berunding dari Jenderal De Kock di Magelang. Perundingan berakhir dengan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830. Dia diasingkan ke Manado selama tiga tahun, kemudian dipindah ke Makassar sampai wafatnya pada 8 Januari 1855.

Melanjutkan Dakwah Sang Pangeran

Selain berperang melawan penjajah, Diponegoro dan pengikutnya juga menyebarkan syiar Islam di wilayah basis perjuangannya. Di Magelang tepatnya di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman terdapat Masjid Langgar Agung yang diyakini sebagai peninggalan Diponegoro. Masjid dengan menara setinggi 25 meter awalnya dibangun dari bekas musala kecil. Di masjid ini terdapat Al Qur’an tulisan tangan semasa yang diperkirakan ditulis sekitar tahun 1825-1830 dengan menggunakan lidi dari aren.

Pasca perang Jawa, ulama pengikut Diponegoro banyak yang menyingkir ke pedalaman. Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjuangan sang pangeran. Jejak perjuangan tersebut di antaranya dapat dijumpai di masjid bersejarah K.H. Abdurrahman. Berdasarkan sejarah lisan, masjid ini dibangun oleh K.H. Abdurrahman yang merupakan salah seorang pengikut Diponegoro pada tahun 1835. Masjid ini berada di dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan.

Dalam perkembangan selanjutnya pertumbuhan pesantren di Jawa tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan historisnya dengan perang Diponegoro. Setelah perang Jawa, para pengikut Diponegoro menyebar ke sejumlah wilayah membuka perkampungan, mendirikan masjid, lalu merintis pesantren. Berawal dari beberapa padepokan kecil, berkembang pesantren tua di Jawa di antaranya pondok Pabelan Magelang, Pesantren al-Asyariyah Kalibeber Wonosobo, pondok Sabilil Muttaqien (pesantren Takeran Magetan), Pesantren Miftahul Ulum Pare Kediri, dan pondok Tambakberas Jombang.

Meskipun secara fisikal perang Jawa telah berakhir dengan ditangkapnya Diponegoro, tetapi secara faktual perjuangan tidaklah berhenti. Perjuangan berlanjut dan bertransformasi dalam bentuknya yang baru melalui dakwah pendidikan. Sebuah warisan api semangat juang sang pangeran yang tetap hidup dan akan diteruskan melintasi generasi. Wallahu a’lam Bishawab. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2020>

 

 

 

 

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos