Menghamparkan Sajadah Bagi Orang Salat, Bagaimana Hukumnya?

Menghamparkan Sajadah Bagi Orang Salat, Bagaimana Hukumnya?

Hadila – Assalamualaikum. Ustaz, setiap kali salat di masjid atau musala saya sering menjumpai orang yang tiba-tiba menghamparkan sajadah di depan orang yang sedang melaksanakan salat. Bagaimana hukum perbuatan tersebut? Apakah diperbolehkan, atau justru dilarang karena termasuk melewati depan orang yang salat? (Hamba Allah, Solo)

 

Jawaban oleh: Ustazah Nursilaturohmah Lc (Dosen ma’had Abu Bakar putri)

Waalaikumsalam Wr. Wb. Saudara penanya yang dirahmati Allah, berkenaan dengan pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Pertama, bagaimana hukum menunaikan salat dengan beralaskan sajadah? Sebagian kaum muslimin mengharamkan salat dengan mengenakan alas secara mutlak. Sebagian lain mengharamkan penggunaan alas yang bermotif karena dapat mengganggu kekhusyukan salat.

Sebagian lain berpendapat bahwa salat dengan beralaskan sajadah, tikar, atau alas lainnya yang suci termasuk dalam tindakan yang diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada hadis-hadis berikut. Maimunah Ra., istri Nabi Muhammad Saw. menuturkan, “Adalah Rasulullah Saw seringkali salat dengan beralaskan khumrah (tikar kecil).” (H.R. Bukhari Muslim)

Ibnu Abbas Ra. menunaikan salat di Bashrah di atas permadaninya, kemudian dia menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa Rasulullah Saw seringkali salat di atas permadani. (H.R. Ibnu Majah, dishahihkan Al Albani)

Penggunaan sajadah sangat dianjurkan ketika lantai tempat salat terasa sangat panas atau sangat dingin. Anas bin Malik Ra. menuturkan, “Kami menunaikan salat di belakang Rasulullah Saw dalam cuaca yang sangat panas. Apabila salah seorang di antara kami tidak kuat meletakkan wajahnya di lantai, dia membentangkan bajunya dan bersujud di atasnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jadi, salat dengan beralaskan sajadah adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan agar kita dapat berdiri dan bersujud dengan nyaman dan tenang. Adapun motif yang ada pada sajadah, maka hukumnya tidak sampai haram. Pertama, karena tikar dan permadani sejak zaman dahulu biasanya bermotif. Sehingga patut diduga tikar dan permadani Rasulullah Saw juga bermotif. Kedua, motif pada lantai atau keramik kadang lebih heboh daripada motif yang ada pada sajadah. Ketiga, khusyuk dalam salat bukanlah sesuatu yang wajib, sehingga penghalang kekhusyukan maksimal hukumnya hanya makruh, tidak sampai haram. Keempat, ketidakkhusyukan akibat cuaca yang sangat panas atau sangat dingin seringkali lebih parah daripada ketidakkhusyukan karena motif sajadah. Berarti kita harus mengambil suatu tindakan yang risikonya lebih ringan.

Permasalahan berikutnya. Jika salat beralaskan sajadah adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan kadang-kadang sangat dianjurkan, maka menggelarkan sajadah untuk orang yang sedang salat tanpa sajadah berarti termasuk tindakan yang diperbolehkan, bahkan kadang sangat dianjurkan, ketika cuaca sangat panas atau sangat dingin. Hal ini dapat dianalogikan dari tindakan Rasulullah Saw yang biasanya menyegerakan pelaksanaan Salat Zuhur.

Ummu Salamah Ra. menuturkan, “Rasulullah Saw adalah orang yang lebih awal dalam menunaikan Salat Zuhur daripada kalian.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

Namun ketika cuaca sangat panas, beliau memerintahkan para sahabat untuk menunda pelaksanaan Salat Zuhur, hingga cuaca agak mendingan. Beliau bersabda, “Apabila cuaca sangat panas, maka tunggulah agak dingin untuk menunaikan salat (Zuhur). Karena cuaca yang sangat panas bagian dari panasnya neraka Jahannam.” (H.R. Bukhari)

Menggelar sajadah dan menunda pelaksanaan Salat Zuhur, memiliki kesamaan tujuan yaitu membuat nyaman dan tenang orang yang melakukan salat.

Berikutnya, apakah itu tidak termasuk melintas di depan orang yang salat? Jika dia menggelar sajadah dari samping berarti tidak termasuk melintas di depan orang yang salat. Jika saat menggelar sajadah harus berdiri di depan orang yang salat, maka hendaklah dia berdiri di luar sutratul mushalli (pembatas salat), jika orang yang salat telah memasang sutratul mushalli. Jika tidak memasang pembatas salat, maka sebagai bentuk kehati-hatian hendaklah dia berdiri kira-kira sejauh tiga hasta atau 1,5 meter di depan orang yang salat sambil menggelar sajadah. Hal ini didasarkan pada penuturan Bilal Ra, “Jarak antara Nabi Saw dengan pembatas salat adalah sekitar tiga hasta.” (H.R. Abu Dawud, dihasankan Al Albani)

Jadi, menggelar sajadah untuk orang yang sedang salat termasuk tindakan yang diperbolehkan, bahkan kadang sangat dianjurkan dengan tetap berhati-hati agar tidak sampai melintas di depannya. Wallahu a’lam bishawab. <Dimuat di majalah Hadila Edisi Desember 2017>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos