Mari Muhasabah Diri untuk Menjadi Muslim Sejati

Mari Muhasabah Diri untuk Menjadi Muslim Sejati
Sumber gambar: google.com

Hadila.co.id — Mari muhasabah diri dan berlomba dalam menanam kebaikan. Seluruh kita sesungguhnya berada pada antrean yang sama, menuju kematian. Namun, keyakinan akan kematian dan hari perhitungan amal, seolah terlupakan oleh ‘kesibukan’ dunia.

Padahal ini perlu agar kita senantiasa memiliki spirit beribadah, senang bermuhasabah, karena paham tujuan.

Berikut wawancara kami dengan Ustaz Muhammad Fatih Karim, CEO dan Founder @cintaquranID, mengenai bahasan tersebut.

Mengapa proses muhasabah perlu bagi seorang muslim?

Sebagai mukmin yang beriman, kita tentu percaya bahwa hari perhitungan amal manusia adalah benar dan nyata. Maka, sepantas kita selalu memperhatikan bekal apa yang akan dibawa pulang. Apakah kebaikan atau keburukan?

Untuk memberi gambaran yang nyata, maka dengan menghisab diri, jawaban akan ditemukan.

Umar bin Khattab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian akan dihisab Allah.”

Karena pada hari penghisaban, tiada satu pun manusia yang dapat beramal. Maka selagi di dunia, hendaknya memperbanyak amal saleh.

Sebagaimana Rasulullah Saw pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladangnya ibadah, maka manusia harus cerdas menanaminya dengan ‘tumbuhan’ yang berharga bagi kehidupan kemudian. Apa yang kita tanam itu yang akan kita panen.

Apakah Allah memberikan petunjuk mengenai hal ini?

Cukup jelas Allah memberi gambaran mengenai hari perhitungan amal, yang kemudian menyiratkan kebutuhan bermuhasabah bagi orang yang berpikir.

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” [QS. Al-Hijr (15): 92-93]

Pada firman lain, “Pada hari ini kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” [QS. Yasin (36): 65]

Sehingga sangatlah jelas bahwa Alquran pun banyak menjelaskan bahwa kita semestinya senantiasa menghitung-hitung pantaskah kita meraih surga-Nya?

Bagaimana cara bermuhasabah yang tepat?

Siapkan waktu untuk merenung. Melihat diri, amal, dan hati kita. Lalu jawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan: Apakah kita sudah sesuai dengan yang Allah pinta sebagai pemilik kita? Sadarkah kita bahwa semua pasti akan dimintai pertanggungjawaban? Apakah semakin hari kita semakin taat atau malah ingkar atas segala nikmat? Temukan letak ketidaksesuaiannya.

Menyaksikan atau mengingat kematian dianggap sebagai cara jitu bermuhasabah. Bagaimana menurut Ustaz?

Betul, sangat efektif. Sebagai sarana atau metode muhasabah diri, dengan senantiasa meyakini bahwa semua pasti akan kembali pada Allah.

Tiada yang kekal di dunia, segala kenikmatan hanyalah titipan belaka sehingga tak layak dibanggakan.

Menyaksikan kematian mempertebal keyakinan yang bersumber pada pengetahuan atau gambaran tentang kematian, alam kubur, dan hari penghitungan amal.

Mengingat kematian sedikit banyak menimbulkan rasa takut. Apa bedanya takut tersebut dengan wahn. Dan bagaimana agar yang muncul itu bukan wahn?

Wahn adalah ketakutan pada kematian dikarenakan cinta dunia. Beda sebab dengan rasa takut yang ditimbulkan oleh mengingat kematian, yaitu takut karena amal yang dirasa masih sedikit.

Wahn inilah yang menjangkiti manusia, takut meninggalkan kenikmatan dunia, hingga buta akan kerinduan akhirat.

Padahal Rasulullah Saw telah memberi gambaran luar bisa mengenai perbandingan kenikmatan dunia dengan kenikmatan akhirat, yang dijanjikan Allah saat kita ‘pulang’.

“Kenikmatan dunia hanyalah seperti kalian celupkan tangan kalian ke dalam lautan maka air yang menetes dijemari adalah dunia dan kenikmatannya, sedangkan akhirat adalah lautan itu!”

Wahn yang merajai umat manusia ini mengakibatkan kemunduran. Mestinya dalam diri setiap manusia muncul rasa rindu bertemu dengan Allah dan masuk dalam surga-Nya, kemudian termotivasi untuk berusaha bahkan berkorban untuk dien-Nya, bukan malah takut pada kematian yang merupakan gerbang akhirat.

Jika bermuhasabah dengan mengingat mati, baik. Maka bagaimana untuk bisa senantiasa hidup dengan spirit kematian tersebut?

Cukup senantiasa ingat di mana pun dan kapan pun bahwa kepastian ajal adalah nomor “cabut” bukan nomor “urut”, artinya siapa saja dan di mana saja bisa menemui ajalnya tanpa ia sadari.

Perbanyak ziarah kubur dan bayangkan selalu jika kita sedang dalam ketaatan betapa indahnya akhir kehidupan. Sedang jika ajal datang kita sedang bermaksiat betapa buruk akhir kehidupan.

Dengan banyak mengingat mati maka kehidupan akan menjadi sarat prestasi. Masing-masing saling berlomba “rakus beramal saleh” karena paham betapa singkatnya alam dunia, sedang kesempatan tak akan berulang.

Dalam konteks keluarga, bagaimana menerapkan hal tersebut (hidup dalam spirit kematian) bersama dengan seluruh anggota keluarga?

Sebagai orang tua (terlebih ayah selaku kepala rumah tangga), berkewajiban selalu mengingatkan seluruh anggota keluarga tentang hari ‘berpulang’ bahwa kelak semua pasti kembali pada Allah. Yang kemudian membingkai pesan, untuk selalu dahulukan Allah dalam semua aktivitas keluarga. Dengan atmosfer keluarga yang demikian tentu suasana beramal saleh akan tumbuh subur. Rasa cinta mawaddah warahmah akan menaungi insya Allah. <>

 

Pernah dimuat Hadila Edisi Juni 2014.

Ibnu
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos