Hidup ini Fana, Apa yang Kita Miliki untuk Bekal Kelak Saat Telah Tiada?

Hidup ini Fana, Apa yang Kita Miliki untuk Bekal Kelak Saat Telah Tiada?
Sumber gambar: pixabay.com

Hadila.co.id — Rasanya hitungan hari dalam seminggu begitu pendek. Ketika duduk di deretan saf jamaah Salat Jumat, aku seperti menikmati rekaman ulang. Duduk di tempat yang sama dan menyaksikan orang-orang yang sama datang ke masjid. Kebiasaan orang-orang itu yang membuat suasana saat itu seperti Jumat-Jumat sebelumnya.

Hanya saja, ada beberapa hal yang berbeda. Salah satunya, imam masjid yang dulu tampak begitu karismatik dengan langkah energiknya menyalami jemaah yang beririringan menuju masjid, kini datang dengan tertatih-tatih.

Banyak hal telah kusaksikan dari setiap putaran hari Jumat yang kulalui. Setiap putaran,  menjadi  nasihat terbaik bahwa sebenarnya hidup ini hanyalah kumpulan waktu. Setiap satu putaran berganti sesungguhnya berarti kehilangan satu hari. Entah sampai hitungan putaran yang ke berapa, ditakdirkan ‘waktu’ akan berhenti dan semua berakhir, terdiam, membisu.

Bersyukur aku masih bersama kumpulan orang-orang di jalan Allah. Dengan kaki-kaki mereka yang tak lelah apalagi bosan menyusuri jalan yang sama. Menyambangi gemercik air untuk dibasuhkan ke wajah, telinga, tangan, ujung rambut hingga ke kaki dalam wudu. Lalu bersimpuh di sajadah lusuh yang selalu terbentang. Menghadap Allah dalam sujud. Mereka yang berwajah teduh bercahayakan istiqomah menjaga perintah-Nya.

Takjub sekaligus merinding aku dalam de javu. Menghitung semua yang telah berlalu. Mereka semua menua, begitu pun aku. Ketakutan menyeruak. Pada yang tak bisa ditolak. Pada yang semua akan merasakannya. Pada tenaga yang mulai melemah, penyakit yang tak memberi kabar, dan keriput dalam setiap jengkal tubuh.

Rasanya, apalagi yang mesti dicari, ketika dunia telah diupayakan. Untuk dunia, tak pernah mengenal garis finis, tak ada kata puas. Namun, ketika terduduk dalam syahdu kumandang azan, rasanya semua itu begitu semu. Tubuh ini memang tubuh yang dulu, tetapi tidaklah sama. Apakah akan selamanya tubuh ini teperdaya dunia? Sementara dalam tarikan napas, jatah usia berkurang?

Di masjid yang selalu sama, kutemukan jawaban. Bahwa apapun yang telah kita perbuat di dunia ini, ujungnya selalu sama. Menua dan tiada. Dan pada garis itu ukuran sukses bukan lagi dari harta benda. Namun, pada amal buah keimanan yang hakiki.

Menua di masjid. Sepertinya sebuah cita-cita terindah yang belum aku masukkan dalam daftar cita-citaku. Ya, Allah, izinkan aku selalu merindukan rumahmu ini. Jika pada kumpulan waktu yang telah Engkau jatahkan, jadikan sujudku menjadi hitungan terakhir bagi amal-amalku.

[Oleh: Yusuf Cahyono | Dimuat Hadila Edisi September 2014]

 

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos