Hal Kecil Pemicu Pertengkaran

Hal Kecil Pemicu Pertengkaran

Kehidupan berumah tangga sangatlah unik. Suami-istri sebagai pembentuk utama sebuah keluarga, memiliki corak hubungan yang spesifik, intim dan tanpa batas. Kendati ada hirarki kepemimpinan, namun corak interaksi yang terjadi tidak seperti atasan-bawahan. Itu juga yang menyebabkan lebih mudah muncul “konslet” dalam komunikasi di antara mereka.

Hidup bersama dalam waktu lama tanpa pertukaran peran, tentu banyak menimbulkan persoalan kejenuhan, apabila tidak dikelola dan disegarkan suasananya. Sering dijumpai hal-hal kecil dan sederhana, yang secara akal sehat seharusnya tidak perlu dipersoalkan, mudah memicu pertengkaran di antara suami-istri. Di antaranya:

Pertama, kebiasaan. Suami dan istri dilahirkan, dididik dan dibiasakan dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing membawa standar dan kebiasaan yang berbeda. Misalnya standar kebersihan dan kerapihan, standar kemewahan dan kesederhanaan, standar kedisiplinan dan toleransi, dll. Kebiasaan suami yang melempar handuk sembarangan usai mandi, kebiasaan istri yang meninggalkan pakaian kotor di kamar mandi, intonasi suara saat bicara, kelambatan dalam merespons permintaan, dll, adalah contoh perbedaan kebiasaan yang bisa menyulut pertengkaran

Hendaknya suami-istri mencoba saling memahami dan berbagi. Mencari dan menyepakati standar yang digunakan dalam menata rumah tangga yang dibangun berdua.

Kedua, mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi. Di zaman sekarang, komunikasi jarak jauh menjadi andalan, hingga menggantikan komunikasi langsung (pertemuan). Celakanya, hal ini mulai menggejala dalam kehidupan keluarga. Suami-istri semakin jarang mengobrol secara langsung, namun mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim psikolog dari Oxford University menunjukkan bahwa pasangan yang lebih sering berkomunikasi lewat SMS, telepon, fesbuk maupun twitter ternyata memiliki risiko bercerai lebih tinggi, karena kurangnya keterikatan emosi.

Sesibuk apa pun, jangan sampai meninggalkan obrolan langsung, bercengkerama bersama pasangan. Pelukan, elusan, belaian, kecupan disertai obrolan ringan adalah sarana menguatkan ikatan cinta suami-istri. Tidak bisa digantikan oleh teknologi secanggih apapun.

Ketiga, terpengaruh romantisme semu. Konon banyak wanita yang mudah terpengaruh cerita romantis film, sinetron, drama serial, atau novel. Kisah cinta sehidup semati yang happy ending dalam sebuah film bisa menghipnotis wanita sehingga mereka memiliki harapan tinggi akan kehidupan penuh romansa. Sering kali hal ini menjadi tuntutan yang tidak mampu dipenuhi oleh suami. Keterpengaruhan itu bisa membuat mereka menjadi merasa tidak bahagia, pernikahannya gagal (menderita), pesimis (putus asa) akan cinta dan menuduh suami tidak normal apabila tidak mendapatkan sentuhan romantisme seperti layaknya di film. Akhirnya mereka berhenti mengusahakan kebahagiaan cinta dengan pasangannya.

Hiduplah di alam nyata, membangun romantisme dengan pasangan tercinta. Jangan menjadikan puisi, bunga dan kata-kata mesra sebagai standar romantisme. Karena ada banyak wujud romantisme lainnya yang bisa dinikmati bersama pasangan.

Keempat, kelelahan. Seseorang yang kelelahan kerja, kurang tidur, bisa lebih mudah marah dan emosional. Urat-urat yang menegang pada tubuh, rasa lelah dan mengantuk, membuat sistem peredaran darah kurang lancar dan membuat kerja jantung menjadi lebih berat. Suami-istri yang tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup dan berkualitas, atau kelelahan menjadi lebih mudah mengalami pertengkaran dalam rumah tangga. Bukan oleh karena adanya penyimpangan pada pasangan atau pun persoalan yang berat/ ideologis melainkan karena kelelahan fisik dan mental akibat kurang tidur. Maka hendaklah suami dan istri memiliki kesempatan untuk istirahat yang cukup.

Kelima, kebiasaan “menunda pertengkaran”. Apakah suami-istri yang tidak pernah bertengkar itu baik? Belum tentu. Bisa jadi pasangan suami istri yang tidak pernah bertengkar justru tengah menunda terjadinya sebuah pertengkaran yang sangat besar. Jika ada perbedaan pendapat di antara suami-istri, sebaiknya segera dibicarakan dengan baik dan dicari jalan keluarnya secara dewasa. Jangan didiamkan atau dibiarkan saja berlarut-larut.

Keenam, Tidak pernah meminta maaf dan menyelesaikan masalah. Suami-istri adalah manusia biasa, yang bisa melakukan kesalahan. Namun ketika seseorang melakukan kesalahan dan tidak mau meminta maaf kepada pasangannya, akan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hubungan. Bahkan, ternyata meminta maaf saja tidak cukup, jika tidak diikuti dengan upaya perbaikan dan mencari penyelesaian masalah. Suami-istri harus mau duduk berdua, mengurai persoalan, berkompromi, mencari jalan keluar, dalam suasana yang tenang dan tidak dikuasai emosi. Jangan mengedepankan ego diri sehingga hanya peduli dengan perasaan dan keinginan sendiri tanpa mau memahami pasangan.

[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi November 2015]

 

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos