Gibah yang Diperbolehkan, Adakah?

Gibah yang Diperbolehkan, Adakah?

Hadila.co.id – Asalamualaikum ustazah. Bagaimaan kriteria gibah yg diperbolehkan? Apakah ketika berada dalam grup WA dan kadang membicarakan aib orang lain, dalam rangka mencari solusi, termasuk kategori gibah? Lalu apa saran ustazah jika kita terpaksa berada di grup itu? (Ana, Solo)

 Konsultan: Ustazah Nursilaturahmah Lc (Dosen Ma’had Abu Bakar Surakarta)

Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh. Saudari Ana yang dimuliakan Allah Swt, kemajuan teknologi saat ini memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan kita, apalagi dalam masalah komunikasi. Tak jarang keberadaan grup-grup yang sedang marak menjadi ajang berdiskusi sembari membicarakan banyak hal kesana-kemari hingga tak disadari akhirnya jadi ajang ngrumpi.

Padahal Rasulullah Saw menyampaikan bahwa setiap anggota tubuh kita memiliki potensi untuk melakukan perbuatan yang mengandung maksiat. Dan di antara yang paling berpotensi adalah lisan kita, sampai-sampai Rasulullah Saw memberikan jaminan bagi siapa saja yang mampu untuk menjaga lisannya, maka beliau jamin dengan surga. Dengan ini pula tak sedikit dari para salafush-shalih mengingatkan kita dari buku-buku yang mereka tulis tentang bahaya lisan. Dan di antara bahaya lisan yang sering tidak kita sadari adalah gibah. Apalagi dalam dunia para emak atau ibu-ibu yang memang memiliki potensi luar biasa dalam hal ini.

Apa yang dimaksud dengan gibah? Gibah adalah menceritakan aib orang lain yang saat itu tidak berada di tengah-tengah kita, tanpa ada keperluan sama sekali untuk itu, sedang orang yang memiliki aib tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasullah Saw dalam riwayat berikut ini, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu gibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah Saw berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (H.R. Muslim)

Adapun tentang larangan gibah ini dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat: 12)

Allah Ta’ala memberikan perumpaaan gibah dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Dalam ayat tersebut juga terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan gibah.

Dari keterangan hadis dan juga ayat di atas sangatlah jelas bahwa gibah itu dilarang atau diharamkan dalam Islam. Namun ada beberapa kondisi dimana dalam keadaan tertentu gibah ini berubah hukumnya menjadi mubah (boleh) dengan adanya tujuan yang syar’i, yaitu sebagai berikut:

Pertama, mengadukan tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang untuk menegakkan keadilan. Misalnya seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib tentang kezalimannya.

Kedua, meminta tolong kepada orang lain untuk membantunya dalam rangka mencegah atau menghilangkan perbuatan mungkar yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya ataupun orang lain.

Ketiga, meminta fatwa atau berkonsultasi pada seorang mufti (ahli) untuk mencari solusi dari permasalahan yang menyangkut orang lain yang ia hadapi.

Keempat, mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadis.

Kelima, membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.

Keenam, menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah makruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.

Demikianlah penjelasan singkat kami tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam masalah gibah sebagaimana yang saudari tanyakan. Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam bish-shawwaab. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Agustus 2020>

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos