Empat Konsep Menunaikan Peran Kerumahtanggaan

Empat Konsep Menunaikan Peran Kerumahtanggaan

Oleh: Cahyadi Takariawan (Konsultan keluarga Nasional)

 Hadila – Ada hal yang sangat berbeda dalam kehidupan seseorang yang belum menikah dengan mereka yang telah menikah. Di antara hal yang membedakannya adalah tanggung jawab. Sebuah tanggung jawab yang semula belum ada, karena akad nikah, maka beban tanggung jawab itu harus diemban sepenuhnya. Di antara tanggung jawab yang muncul dalam pernikahan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada diri suami dan istri.

Tentu saja hak dan kewajiban suami istri bersifat timbal balik. Masing-masing pihak memiliki hak serta kewajiban. Masing-masing pihak memiliki peran untuk ditunaikan. Ada pasangan halal yang bisa diajak untuk bersenang-senang, tetapi juga sekaligus pasangan untuk ditunaikan semua hak-haknya.

Untuk itu, hendaknya pasangan suami istri menunaikan peran kerumahtanggaan dengan tetap bergandengan tangan, penuh keterbukaan, dan mengedepankan musyawarah agar semua pihak merasakan suasana nyaman. Jangan ada paksaan atau keterpaksaan, karena hidup berumah tangga bisa dikelola dengan sepenuhnya menghadirkan cinta.

Berikut empat konsep yang harus dipahami dalam menunaikan peran kerumahtanggaan, yang akan menghadirkan perasaan damai dan nyaman pada semua pihak, tanpa ada keterpaksaan.

Pertama, Menuunaikan Peran yang Sudah Ditetapkan oleh Syariat.

Ada peran kerumahtanggaan yang disepakati para ulama, dan ada pula peran yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama adalah tentang kewajiban memenuhi nafkah keluarga, bahwa itu merupakan kewajiban suami, karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah An Nisa’ ayat 34.

Dalam hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan ulama seperti ini, tinggal dilaksanakan oleh masing-masing pihak dari suami dan istri. Tidak perlu mempersoalkan hal yang sudah menjadi ketentuan agama, karena dengan cara inilah hidup kita akan bahagia. Sebagai manusia yang beriman, kita patuh kepada ketentuan agama, agar hidup kita bahagia dunia dan akhirat.

Sedangkan dalam hal-hal yang terdapat khilaf di kalangan para ulama, hendaknya disepakati bersama oleh suami dan istri dengan cinta dan kasih sayang. Bukan dengan pemaksaan kehendak. Bicarakan baik-baik antara suami dan istri, bagaimana membagi peran yang mereka sepakati. Apabila suami menghendaki untuk menyelesaikan semua urusan praktis kerumahtanggaan dan istri rela dengan itu, tidak ada masalah. Apabila istri menghendaki untuk menyelesaikan semua urusan praktis kerumahtanggaan dan suami rela dengan itu, tidak ada masalah.

Bahkan apabila keduanya tidak berkenan menunaikan sendiri, bisa diselesaikan semua hal praktis dan teknis itu oleh pembantu rumah tangga. Intinya, jangan berdebat, jangan salah menyalahkan, jangan adu argumen sampai menimbulkan konflik antara suami dan istri.

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menukilkan riwayat Ahmad, bahwa Ali berkata kepada Fatimah, “Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur sehingga dadaku terasa sakit”. Fatimah menjawab, “Dan aku, demi Allah, memutar penggiling hingga kedua tanganku melepuh”. Pernyataan Ali dan Fatimah di atas menunjukkan, kedua belah pihak saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan “domestik” kerumahtanggaan. Mereka berdua telah bekerja sama dengan harmonis untuk menyelesaikan pekerjaan praktis di rumah.

Kedua, Menunaikan Peran sebagai Bahasa Cinta yang Umum

Suami dan istri harus saling mengembangkan perasaan cinta dan kasih sayang dalam kehidupan berumah tangga. Istri memberikan pelayanan terbaik kepada suami, karena cinta dan sayang. Suami memberikan pelayanan terbaik kepada istri, karena cinta dan sayang. Bukan karena hak dan kewajiban. Bukan karena mereka adalah pembantu rumah tangga, tetapi karena sebagai sepasang kekasih yang saling mencinta.

Ketika pagi hari istri memasak untuk sarapan sang suami, hal itu karena dorongan rasa cinta dan kasih sayang. Ketika suami membereskan rumah yang kotor, hal itu karena dorongan rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing dari suami dan istri berusaha untuk memberikan bantuan dan pelayanan untuk pasangannya, karena mereka ingin mengungkapkan cinta dengan cara yang nyata. Jika demikian cara memaknainya, maka akan sangat menyenangkan bagi suami dan istri dalam menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari.

Al Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apakah yang dikerjakan Rasulullah Saw di rumah?” Dia menjawab, “Beliau biasa dalam tugas sehari-hari keluarganya –yakni melayani keluarganya— maka apabila telah datang waktu salat, beliau keluar untuk menunaikan salat,” (H.R. Bukhari). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadis itu terdapat anjuran untuk bersikap tawaduk dan tidak sombong, serta menganjurkan laki-laki untuk melayani istrinya.”

Ketiga, Menunaikan Peran sebagai Bahasa Cinta yang Khusus

Pelayanan yang dilakukan dengan tulus dan karena dorongan cinta, secara umum akan sangat menyenangkan bagi pasangan. Terlebih lagi bagi suami atau istri yang memiliki tipe bahasa cinta pelayanan, akan teramat sangat membahagiakan hatinya. Ini yang disebut sebagai bahasa cinta yang khusus, yaitu suami atau istri yang tipe bahasa cintanya adalah pelayanan.

Sebagaimana diketahui, ada lima bahasa cinta yang biasanya dimiliki suami dan istri, yaitu kata-kata apresiasi, waktu berkesan, pelayanan, hadiah dan sentuhan fisik. Jika pasangan memiliki bahasa cinta pelayanan, maka berikan pelayanan lebih sempurna untuk membahagiakan dirinya. Seorang suami atau istri yang tipe bahasa cintanya pelayanan, akan merasa dicintai sepenuh hati oleh pasangan apabila dirinya mendapatkan berbagai bentuk pelayanan. Maka pahami, apa tipe bahasa cinta pasangan Anda.

Keempat, Menunaikan Peran sebagai Kebiasaan Adat Setempat

Setiap daerah dan wilayah bisa memiliki adat yang berbeda dalam pembagian peran kerumahtanggaan. Ini adalah sebentuk kearifan lokal yang bisa diambil untuk ‘standar kepatutan’ dalam konteks adat. Sepanjang tidak sampai melanggar syariat, dan dilakukan atas dasar kesukarelaan, maka tidak masalah mengikuti adat setempat. Sebagai contoh, apa yang sudah lazim dilakukan di sebagian besar wilayah Indonesia dalam memahami peran kerumahtanggaan, bahwa perempuan mengurus dan mengampu pekerjaan kerumahtanggaan. Hal ini tidak masalah untuk diikuti, selain karena menjadi pendapat sebagian ulama, tetapi juga sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun.

Namun jika kita hidup di sebuah masyarakat yang secara turun temurun memahami bahwa pekerjaan kerumahtanggaan dilakukan sepenuhnya oleh suami, maka hal itu pun bisa ditolerir. Selain karena ada pendapat sebagian ulama yang menguatkan hal tersebut, juga karena hal itu yang dianggap patut oleh masyarakatnya. Di Indonesia, jika kita ke pasar mayoritas isi pasar adalah perempuan. Namun di beberapa negara Arab, isi pasar mayoritas adalah laki-laki. Ini menunjukkan adanya kebiasaan yang berbeda di setiap daerah.

Demikianlah empat konsep dalam menunaikan peran kerumahtanggaan. Jangan sampai suami dan istri bersitegang dalam urusan hak dan kewajiban atau pembagian peran kerumahtanggaan. Hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan para ulama, hendaknya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Namun untuk hal-hal yang menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan ulama, maka menunaikan peran bisa dilakukan dengan nyaman apabila dilandasi oleh rasa cinta dan kasih sayang.

Hal itu dilakukan bukan karena definisi wajib atau tidak wajib, tetapi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai dan berusaha untuk membahagiakan pasangan dengan pelayanan terbaik. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2019>

 

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos