Adakah “Kesempatan Kedua”?

Adakah “Kesempatan Kedua”?

Ketika konflik hebat melanda pasangan suami istri dan mereka merasa sudah tidak memiliki jalan keluar, perceraian adalah pikiran yang lazim muncul pada keduanya. Tidak peduli sudah berapa lama mereka hidup berumah tangga, saat ketegangan memuncak, banyak pasangan suami istri yang berpikir jalan pintas. Cerai adalah jalan termudah untuk mengakhiri semua konflik dan ketegangan antara suami istri.

“Saya sudah lelah dengan ini. Sudah tidak sanggup menghadapi hidup yang penuh konflik ini,” ujar istri. “Saya sudah tidak tahu harus berbuat apa. Lelah saya dibuatnya,” ujar suami. Ternyata keduanya sama-sama merasa lelah, jenuh, dan tersakiti. Sama-sama merasa tidak mau berada dalam kondisi seperti ini. Sama-sama ingin bahagia, tetapi tidak bisa keluar dari konflik yang selalu terjadi.

Aneh. Padahal mereka sendiri yang menciptakan konflik dan krisis. Namun, mereka merasa bingung dan tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Pada situasi seperti ini, suasana keluarga terasa mencekam. Tidak ada lagi kebahagiaan, kelembutan, dan kasih sayang. Hanya tersisa kemarahan, kejengkelan, ketidaknyamanan, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Padahal sebenarnya, kunci penyelesaian persoalan dalam kehidupan keluarga ada pada mereka berdua.

Di ujung titik buntu itu, mereka dihadapkan pada dua pilihan. Mengakhiri kisah cinta, atau membangun ulang cinta dalam keluarga. Pilihan pertama artinya bercerai. Pilihan kedua itu yang kerap disebut sebagai “kesempatan kedua”. Jika mereka memilih pilihan ketiga, tidak bercerai tetapi juga enggan menyelesaikan persoalan, yang akan mereka rasakan adalah siksaan berkepanjangan. Hidup serumah dengan pasangan sah, tetapi tidak saling berkomunikasi. Hidupnya sendiri-sendiri, hanya untuk gengsi.

Karena itu, fokuslah pada pilihan untuk membangun ulang cinta, memanfaatkan “kesempatan kedua”, dan jangan tergesa memutuskan mengakhiri kisah cinta dalam keluarga. Pernikahan adalah ikatan sakral atas nama Allah yang disahkan secara agama dan dilegalkan oleh aturan negara.

Sepuluh Pertanyaan

Ketika pasangan suami istri merasa tidak menemukan jalan keluar dari krisis yang dihadapi, cobalah melakukan cooling down. Diam, rehat, dan merenung. Menenangkan hati, pikiran, perasaan, dan keinginan. Endapkan emosi, tundukkan ego, redakan kemarahan, dan urai ketegangan. Jangan mengambil keputusan besar dalam suasana emosi.

Seluruh konselor pernikahan menekankan agar pasangan tidak tergesa memutuskan bercerai, melainkan mempertahankan keutuhan keluarga, dan memanfaatkan “kesempatan kedua” dalam kehidupan pernikahan mereka. Dalam situasi krisis kepercayaan antara suami istri, keduanya harus berusaha membangun kembali cinta dan kasih sayang. Melangkah bersama untuk menyelesaikan krisis, serta berusaha menyusun kembali puzzle cinta mereka yang sempat berserakan. Jangan membiarkan konflik berkembang menjadi petaka yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga. Terlebih pada pasangan suami istri yang telah memiliki anak.

Menurut David Wilchfort, terapis pernikahan dari Jerman, dalam menghadapi kebuntuan hubungan, pasangan suami istri perlu menjawab 10 pertanyaan kritis berikut: 1. Apakah Anda masih bisa bersikap setia satu sama lain? 2. Apakah Anda masih saling menghormati satu sama lain? 3. Apakah Anda bersama-sama dapat berkembang dalam perkawinan ini? 4. Apakah Anda berdua masih dapat membuat sebuah keputusan penting bersama-sama? 5. Apakah Anda berdua masih memiliki tujuan bersama di masa depan? 6. Apakah Anda berdua masih dapat tertawa bersama? 7. Apakah Anda masih memiliki waktu untuk makan bersama? 8. Apakah Anda masih memiliki kepedulian satu sama lain? 9. Apakah Anda masih dapat menikmati kedekatan fisik satu sama lain? 10. Apakah Anda bersedia untuk menjalin kembali hubungan yang sudah retak dengan pasangan?

Jawaban Anda terhadap 10 pertanyaan itu, bisa menjadi perenungan apakah hubungan Anda masih dapat dipertahankan atau tidak. Jika sebagian besar jawabannya “ya” berarti Anda masih memiliki cukup banyak cinta dan energi untuk hidup bersama pasangan. Inilah “kesempatan kedua” itu.

Bagi para konselor di Jogja Family Center, sepuluh pertanyaan tersebut bukan kami lemparkan secara terbuka dan bebas. Namun, kami gunakan sebagai alat bimbing bagi pasangan suami istri, untuk bisa menjawab “ya” pada semua item. Bukan memaksa, tetapi menggali kesadaran sejak dari motivasi awal pernikahan mereka hingga akhirnya mereka bisa menemukan titik kesadaran baru untuk memanfaatkan “kesempatan kedua” dalam kehidupan berumah tangga.

Pada akhirnya, semua keputusan kembali kepada pasangan suami istri itu sendiri. Mereka yang harus mengambil keputusan bersama secara bertanggung jawab. Bukan memenangkan ego demi harga diri masing-masing. Namun harus berpikir dewasa untuk mengambil pilihan terbaik bagi masa depan keluarga, anak-anak, reputasi, dan karir mereka. Kesempatan kedua, bahkan kesempatan ketiga, keempat, dan seterusnya, selalu ada dalam kehidupan berumah tangga. Jangan sia-siakan.

[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Maret 2016]

 

 

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos