Rumput Tetangga (Tidak) Lebih Hijau

Rumput Tetangga (Tidak) Lebih Hijau
Sumber gambar: media.licdn.com

Hadila.co.id — Istilah Rumput Tetangga Lebih Hijau, sering digunakan untuk menyebutkan pandangan seseorang atas sesuatu—bisa berupa harta, jabatan, prestasi, pasangan, anak, dan lain-lain—yang dimiliki orang lain dan terlihat seolah lebih baik atau lebih indah daripada apa yang dia miliki. Sebuah peribahasa Indonesia yang memiliki arti “tidak puas dengan apa yang dimiliki, melihat orang lain yang sepertinya lebih baik”.

Banyak orang merasa kalau ‘rumput tetangga lebih hijau’. Padahal secara makna, tersirat kata ‘tampak’. Sehingga utuh jika dimaknai bahwa rumput yang terlihat itu hanya tampaknya saja lebih hijau. Sebuah fatamorgana pikiran atau ilusi kita semata. Dalam bahasa Jawa diistilahkan sebagai wang sinawang.

Wang Sinawang

Sawang berarti pandang, lihat. Setelah mengalami pengulangan menjadi sawang sinawang berarti pandang memandang atau saling pandang. Begitulah makna etimologis ungkapan Jawa wang sinawang. Secara filosofis, wang sinawang bermakna saling menilai orang lain dan biasanya memandang orang lain lebih baik atau beruntung dari diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah mengalami ini. Memiliki kecenderungan untuk memandang, membandingkan diri (sesuatu yang kita miliki) dengan orang lain, kemudian merasa yang dimiliki orang lain lebih baik. Yang lain selalu ‘lebih berlian’ dari pada ‘pasir’ untuk dirasakan. Padahal bisa jadi orang lain memandang kita memiliki ‘berlian’ yang berbentuk butiran laksana pasir. Dan ternyata kita tidak sadar kalau ternyata kita memang memiliki itu.

“Manusia memiliki kecenderungan untuk memandang, membandingkan diri (sesuatu yang kita miliki) dengan orang lain, kemudian merasa yang dimiliki orang lain lebih baik.”

Ilustrasi sederhananya seperti ini. Si A menganggap bahwa si B, orang yang selalu bahagia, tidak pernah punya masalah, tidak pernah sedih. Sebaliknya si B pun memandang bahwa si A hidupnya enak, tidak pernah kekurangan uang dan tidak punya utang. Padahal si B pun sebenarnya memiliki masalah, hanya saja tidak dia perlihatkan di muka publik. Yang dia tunjukkan adalah wajah tersenyum dan raut bahagia. Begitu pun demikian dengan si A; bukannya tidak punya utang, melainkan karena hidupnyayang apa adanya tidak berlebihan, orang jadi melihatnya selalu berkecukupan.

Begitu juga dalam konteks bahasan kali ini, yaitu mengenai pasangan. Ada kalanya seseorang melihat pasangan orang lain begitu sempurna dibanding pasangannya, dengan berbagai keistimewaan yang terlihat. Muncullah kecenderungan untuk membandingkan. Padahal pasangan kita atau individu manusia secara umum itu bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, karena hakikatnya terdiri dari beberapa elemen yang pasti tidak sama. Juga bahwa di samping memiliki kelebihan, dia niscaya memiliki kekurangan. Pada setiap individu, sisi kelebihan dan kelemahan ini Allah ditempatkan pada elemen atau hal yang berbeda-beda. Sehingga jika dibandingkan, sangatlah tidak fair, atau dalam bahasa yang sedang tren sekarang; tidak apple to apple.

Kesan, Sudut Pandang dan Tolok Ukur

Aktivitas memandang sangat dekat kaitannya dengan kesan, sudut pandang dan tolok ukur. Apakah benar ‘rumput tetangga itu lebih hijau’? Jawabannya tergantung dari sudut pandang, tolok ukur dan kesan yang dapat kita tangkap (subjektif dan sangat tidak objektif).

Mengenai sudut pandang, seringnya kita salah. Ibarat salah memakai kacamata. Kacamata hijau misalnya ketika melihat rumput orang lain, sehingga semuanya terlihat hijau. Dan kacamata cokelat saat melihat pekarangan sendiri, sehingga terlihat selalu gersang. Melihat pasangan sendiri hanya dari kelemahannya, sedangkan melihat pasangan orang lain pada kelebihannya.

Mengenai tolok ukur; saat memandang rumput tetangga lebih hijau mungkin kita mengabaikan bahwa ada rumput varietas lain, misalnya. Sehingga belum tentu rumput yang lebih pucat warnanya menandakan kualitas yang buruk. Terkadang warna pucat justru indah dan lebih baik. Seperti buah semangka kuning, misalnya. Saat kita memandang pasangan orang lain dengan mengambil tolok ukur yang bersifat materi (terlihat) tidak akan pernah bisa setara dengan hal-hal yang bersifat immateri dari pasangan kita. Padahal yang immateri itu bisa jadi lebih berharga.

Mengenai kesan, berkait dengan keterbatasan kita memandang. Kita mengamati ‘rumput tetangga’ hanya sekilas, parsial, dan tidak utuh. Karena memang tidak mungkin mengetahui sisi terdalam orang lain, terlebih pasangan orang lain. Sementara pasangan kita, bisa kita amati sedetail mungkin. Belum tentu jika kita amati dengan cara yang sama, akan kita dapati ‘rumput tetangga’ itu lebih hijau.

Analogi-analogi tersebut memperjelas bahwa ‘rumput tetangga tidak lebih hijau’. Atau yang mungkin lebih pas; “rumput tetangga mungkin lebih hijau, tetapi buah di kebun kita jauh lebih manis”. Pasangan orang lain mungkin istimewa dalam hal tertentu, tetapi pasangan kita juga lebih istimewa dalam banyak hal.

“Rumput tetangga mungkin lebih hijau, tetapi buah di kebun kita jauh lebih manis.”

Kurangnya Syukur

Merasa bahwa pasangan orang lain lebih baik dari pasangan kita, adalah wujud kurangnya syukur. Padahal syukur adalah kunci agar kita selalu bahagia dan bisa melihat betapa banyak berkah dalam hidup kita. Jika hal ini tidak diantisipasi akan berbahaya bagi diri dan keluarga.

Pertama,‘menutupi’ pandangan kita pada pasangan sendiri terutama pada sisi kebaikanny. Sehingga membuat kita lupa mensyukuri anugerah pasangan itu sendiri. Pasangan yang dianugerahkan kepada kita adalah pasangan yang terbaik dan paling pas untuk kita. Kita dan juga pasangan kita memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu pun setiap orang; yang kita pandang sempurna sekalipun, kelebihan dan kekurangannya belum tentu pas bersanding dengan kita.

Kekurangan pasangan hakikatnya adalah ‘kekurangan’ kita. Karena jika pasangan kita tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu, mungkin sudah sejak dari awal mereka telah menikah dengan orang yang lebih baik dari kita. Jadikanlah kekurangan itu sebagai cermin untuk memperbaiki diri kita. Sehingga proses memandang orang lain juga lebih terfokus pada bagaimana diri kita bisa senantiasa memperbaiki diri dan keluarga

Kedua, merusak keharmonisan rumah tangga. Karena jika hal tersebut sampai dilisankan mesti dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, dapat membuat pasangan kita sakit hati. Lebih jauh lagi dapat ‘mematikan’ hal positif dari pasangan yang bisa muncul karena efek motivasional dari perhatian, pujian, merasa diterima, merasa spesial, dan satu-satunya.

Ketiga, yang lebih berbahaya jika kemudian ada pikiran merasa bahwa pasangan orang lain tersebutlah yang seharusnya menjadi pasangannya. Ini akan membentuk penyakit hati; iri. Bahkan sangat mungkin menjadi hasad, yaitu membenci kenikmatan Allah yang diberikan kepada orang lain atau berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang lain menjadi hilang. Semoga kita dijauhkan dari yang demikian.

“You may think the grass is greener on the other side, but if you take the time to water your own grass it would be just as green.”

Karena ‘rumput tetangga’ hanya tampaknya saja lebih hijau maka kenapa kita tidak lebih fokus pada ‘memupuk dan merawat rumput’ kita sendiri. Fokus pada bagaimana senantiasa memperbaiki diri dan pasangan kita. Menerima, membungkus setiap kekurangan dan kelebihannya menjadi ‘racikan’ sempurna dalam kehidupan kita. Jika kembali pada analogi rumput, maka lebih baik menghijaukan rumput sendiri ketimbang senantiasa memandang ‘rumput tetangga’.“You may think the grass is greener on the other side, but if you take the time to water your own grass it would be just as green.” [Dimuat Hadila Edisi September 2014]

Redaksi
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos