Mengejar Akhirat

Mengejar Akhirat

Hadila.co.id Cara berjalannya sedikit berjingkat, pelan seolah pilih-pilih mendaratkan telapak kakinya. Kaki terangkat, terayun tanpa membentuk sudut di lutut, lalu berhenti untuk beberapa langkah. Mirip seperti berjalannya robot. Aku bergeser memberinya ruang untuk duduk.

“Maaf, habis jatuh Mas?” tanyaku. Ia tersenyum, hati-hati membetulkan posisi kaki.

“Saraf kejepit di tulang belakang, sudah belasan tahun yang lalu ketika bermain bola,” jawabnya lirih. Aku sering mendengar istilah itu. Namun tak pernah membayangkan, efeknya demikian parah. Kakinya nampak mengecil.

“Ini sudah lumayan. Satu tahun saya hanya bisa terbaring. Setelah beberapa terapi, sedikit demi sedikit ada perkembangan,” terangnya.

”Sakit ya mas jika berjalan?” tanyaku kembali.

“Sudah tidak lagi, namun jika kambuh sakit luar biasa. Harus rajin bergerak, agar kaki tak makin mengecil,” balasnya sambil menunjukkan telapak kakinya yang tak lagi rata. Ada bagian yang kempes di tengahnya. Aku tak bisa membayangkan derita yang dialaminya.

“Menjemput putranya?“ Tanyaku mengalihkan tema.

Keistimewaan Hari Jumat dan Peranan Wanita dalam Islam

“Anak tetangga. Saya belum punya anak. Dua kali karunia datang, namun terambil kembali. Dengan kondisi seperti ini, harapan itu mungkin makin jauh. Sebenarnya saya sudah memberikan pilihan pada istri untuk meninggalkan saya, karena kondisi ini mempersulit tanggungjawab saya sebagai suami. Namun ia menolak. Keikhlasannya untuk terus mendampingi, hanya bisa saya kuatkan dengan ikhtiar mengejar akhirat. Karena mengejar dunia sudah jauh,” sambungnya. Seperti ada beban yang ingin ia bagi meski kepada orang yang baru dikenalnya.

“Mas usaha apa sekarang? Istri bekerja?” tanyaku.

“Jualan susu segar dengan gerobak dorong. Sekaligus buat aktivitas agar terus bergerak. Bisanya mendorong, bukan mengangkat beban. Istri kerja di toko keramik,” jawabnya.

“Alhamdulillah. Di balik semua, ada kelapangan. Hikmah bertebaran di setiap kejadian, sebagai pelajaran ke depan,“ kataku padanya, namun sejatinya ‘untukku’ sendiri.

“Beban mulai berkurang setelah kami saling menguatkan dan mengikhlaskan. Jikapun berdua hingga tua, kebersamaan telah membahagiakan kami. Masih ada ruang untuk mencurahkan kasih sayang. Ada anak-anak saudara atau tetangga. Mengajari mereka membaca Al Qur’an tiap menjelang petang, membuat kami jadi orangtua.”

Qaulan Sadidan; Pentingnya Berkata Jujur untuk Menanamkan Kejujuran Pada Anak

Aku merinding. Ini pelajaran berharga buatku. Usianya belumlah tua, namun ujian hidup membuatnya jauh melampaui usianya. Mengejar akhirat setelah dunia kian jauh dari rengkuhan, justru menjadi pemantik untuk lebih kuat menjalani kehidupan di dunia.

<Oleh: Ida Royani, Guru SDN 1 Tekaran, Selogiri, Wonogiri>

Bachtiar
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos