Dalam Mendidik Anak, Bukan Disterilkan tetapi Dikuatkan Imunitasnya

Dalam Mendidik Anak, Bukan Disterilkan tetapi Dikuatkan Imunitasnya
Dalam mendidik anak, Islam bukan menghendaki anak steril, tapi memiliki imunitas agar tidak mudah terpengaruh

Rasulullah pernah bermain dengan kedua cucunya—Hasan dan Husein, saat itu ada seorang Arab Badui yang melihat, dia berkata, “Ya Rasulullah, aku memiliki sepuluh anak, tetapi tidak pernah sekali pun bibirku menyentuh kening mereka.”

Rasulullah menjawab, “Barang siapa yang tidak mencintai makhluk di bumi, maka di langit Allah tidak akan mencintainya.”

Memberikan kasih sayang kepada anak sangatlah penting. Maka setiap orang tua harus menyayangi anak-anak mereka. Di era sekarang, bagaimana sebaiknya sikap orang tua dalam menunjukkan kasih sayang pada anak? Berikut ulasan bersama Ustaz Hilman Rosyad Syihab, Lc., Konsultan Keluarga Nasional alumni Faculty of Hadith and Islamic Studies, Islamic University of Madinah, Saudi Arabia, saat ditemui Hadila dalam acara seminar parenting bertema Character Building Ala Rasulullah Saw di Hotel Multazam yang digelar PAUD IT Nurhidayah, 18 November 2017.

Apa saja yang harus ditanamkan sebagai fondasi pada diri anak agar kelak saat dewasa bisa menjadi sosok ‘hebat’?

Dalam Islam, tidak ada tuntutan menjadi ‘superhero’. Ada ungkapan, “lebih baik terkenal di langit daripada masyhur di bumi”. Menjadi manusia biasa itu tidak masalah. Di sisi Allah, yang dilihat adalah ketakwaan. Sedangkan di sisi manusia, sebagaimana hadis Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada yang lain.”

Maka, dalam konteks pembinaan anak-anak ke depan, mereka harus dikuatkan lifeskills (keterampilan) dan survival skill (kemampuan bertahan) agar mampu memberi manfaat kepada orang lain, atau minimal tidak jadi beban.

Bagaimana cara menghadapi anak yang mengalami perkembangan secara seksual (akil) lebih cepat daripada perkembangan psikologisnya (balig)?

Harus kita pahami bahwa sistem (perkembangan teknologi, dan sebagainya—red) secara keseluruhan tidak berpihak kepada Islam. Namun, apa yang ada tetap bisa disiasati. Salah satu caranya adalah bagaimana sekolah-sekolah Islam dan para orangtua mampu menyiapkan kecerdasan emosi, akhlak, dan spiritual lebih awal. Atau setidaknya berbarengan dengan ‘kecerdasan fisik’.

Perkembangan seksual (reproduksi) sangat erat kaitannya dengan ‘kecerdasan fisik’. Hal itu dipengaruhi beberapa hal, seperti nutrisi, kemudahan akses informasi, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang mesti disiasati, sebab tidak bisa dihindari.

Bagaimana sebaiknya menanamkan pendidikan karakter (character building) terhadap anak?

Character building adalah bagaimana kita bersungguh-sungguh sedini mungkin menyiapkan kecerdasan emosi dan spiritual kepada anak. Ada 5 poin kecerdasan emosi yang perlu ditanamkan pada anak; kejujuran, kesetiaan, keberanian, semangat memberi, dan memiliki rasa malu. Kecerdasan ini bisa didapatkan dari berbagai sumber, bisa dari rumah (keluarga), sekolah, dan lingkungan.

Sedangkan kecerdasan spiritual (tazkiyatunnafs) merupakan salah satu tugas kenabian yang harus disampaikan. Poin tazkiyatunnafs harus dilatihkan pada anak karena ini adalah kebiasaan. Misalnya, mengenai salat 5 waktu, shaum, zikir, tilawah Alquran, sedekah, birul walidain, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang harus dikuatkan demi tercapainya kecerdasan spiritual pada anak.

Lalu, cara menyampaikan kedua jenis kecerdasan ini harus dilakukan dengan benar. Dalam konteks mendidik anak, ada yang disebut siklus tarbawi; memberi contoh, memberi pembiasaan, dan menanamkan nilai. Siklus inilah yang perlu dilakukan orangtua.

Bagaimana menyikapi kenakalan anak akibat lingkungan pergaulan, sedangkan anak tetap perlu bersosialisasi?

Perlu dipahami, tuntutan Islam bukan steril. Jadi tidak ada tuntutan agar anak steril dari dosa. Tuntutannya adalah imunitas (kekebalan). Bahasa yang lebih populer adalah pernyataan Sayyid Quthub, “Berburu tetapi tidak terpengaruh” seperti ikan di lautan tetap tawar walaupun airnya asin. Imunitas berasal dari kecerdasan emosi yang kemudian melahirkan akhlak, dari kecerdasan spiritual yang melahirkan kesalehan, ketaatan terhadap agama.

Bagaimana sebaiknya orang tua mendidik anak yang lebih dari satu, mengingat masing-masing anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda?

Status anak bagi orang tua adalah sebagai amanah yang harus dipelihara dan dijaga. Saat anak belum lahir, maka kehadiran anak harus diharapkan. Setelah anak lahir, maka pastikan nafkah yang diberikan adalah nafkah yang halal dan berkah. Kemudian, tunjukkan rasa sayang kepada anak dengan cara konkret, jangan mencintai anak secara konsep. Selain itu, orangtua dituntut untuk berbuat adil, apalagi kalau anak lebih dari satu.

Anak-anak tidak ada yang seragam. Ada yang penurut, ada yang pembangkang. Ada yang pandai, ada yang kurang. Kita sebagai orangtua tuntutannya bukan reaktif (anak berprestasi lalu diberi hadiah), tetapi proaktif. Jika memang salah satu anak tidak bagus dalam prestasi akademik, maka ciptakan prestasi tersendiri baginya. Jangan selalu dibandingkan dengan anak lainnya. Misalkan, coba lihat prestasi dalam bidang seninya, keberaniannya, dan lain-lain. Jadi anak dirangsang dan dikondisikan pada lahan di mana dia bisa mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuannya. <Taufik/Ibnu Majah>

 

Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2018

 

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos