Catatan Hati Seorang Suami

Catatan Hati Seorang Suami

Dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri memiliki corak interaksi yang sangat intim. Walaupun ada definisi tentang hak dan kewajiban, tetapi mereka berinteraksi dalam suasana cinta dan kasih sayang, bukan dalam suasana “hukum” tentang mana hak dan mana kewajiban yang kaku dan mekanistik.

Oleh karena itu, soal membuatkan teh panas, memasak, membersihkan kamar dan rumah, mencuci baju, membuang sampah, dan lain sebagainya urusan rumah tangga, tidak selalu diletakkan dalam bingkai hak dan kewajiban. Mereka berdua bisa meletakkannya dalam bingkai cinta dan kasih sayang.

Catatan Hati Seorang Suami

Seorang suami menceritakan kepada saya sebuah kejadian kecil yang dialaminya dalam kehidupan rumah tangga. Ia bekerja di sebuah instansi swasta, berangkat pagi dan pulang sore, maghrib baru tiba di rumah. Istrinya tidak bekerja formal, tetapi sangat konsentrasi untuk mengurus tiga anak mereka yang masih kecil.

Selama ini ia dan istrinya selalu berusaha untuk saling mengerti dan saling memahami, sehingga tidak terjadi suasana saling menuntut di antara mereka. Setiap hari sang istri memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan mengurus anak.

Namun ia merasa lebih banyak tidak bisa membantu, karena jam setengah tujuh dia sudah berangkat menuju tempat bekerja. Sampai di rumah sudah maghrib. Dengan kondisi seperti itu, ia berusaha untuk membuka pengertian dan pemahaman yang luas atas kelelahan istri yang harus mengurus berbagai renik kerumahtanggaan sendirian.

Berikut ini penuturan suami salih tersebut.

Biasanya menjelang maghrib aku sudah sampai di rumah. Namun hari ini, selepas Isya aku baru pulang dan tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Daffa, anak pertamaku yang baru kelas tiga SD membukakan pintu untukku.

“Aku diminta ibu untuk menunggu ayah pulang agar bisa membukakan pintu,” kata anakku.

“Terimakasih Nak, kau baik sekali. Sekarang engkau tidur ya, bareng adik di kamar,”, jawabku. Ia mengangguk dan segera masuk kamar.

Aku segera masuk ke kamarku. Sejenak aku tertegun menatap istriku. Ia tertidur kelelahan, di samping si bungsu yang juga sudah pulas.

Aku perhatikan wajah istriku, tidak tega aku untuk membangunkannya. Tentu ia sangat lelah mengurus tiga anakku yang masih kecil-kecil. Biarlah ia istirahat.

Aku beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun aku terkejut ketika membuka penutup yang ada di atas meja makan, ternyata telah tersedia sayur dan lauk pauk. Pasti istriku telah menyiapkannya untukku sebelum dia tertidur karena kelelahan.

Sambil menyantap makan malam aku membayangkan betapa banyak kebaikan istriku. Ia telah menjaga dan menamani ketiga anakku setiap hari. Ia menjemput dua anakku sepulang dari sekolah di SD dan TK. Ia masih menyusui anak balitaku yang baru berusia setahun. Ketika malam ini ia kelelahan mengurus si bungsu yang masih kecil, mungkin ia sudah merasa akan ketiduran, maka ia memberi tugas anak pertama agar menunggu kepulanganku sehingga bisa membukakan pintu.

Selesai menyantap makan malam, aku segera ke kamar mandi untuk bersih diri. Setelah itu aku kembali masuk ke kamar, melihat wajah istriku yang tertidur sangat pulas. Aku memegang keningnya, dengan lembut aku berdoa, “Ya Allah, berikan kebahagiaan baginya di dunia dan kelak di akhirat. Sungguh, ia telah membahagiakan aku dengan berbagai kebaikan yang ia lakukan setiap saat. Hanya Engkau yang bisa memberikan balasan berlipat.”

Cara Memahami dan Menikmati

Cobalah perhatikan, yang sangat menarik dari suami tersebut adalah cara dia memahami kondisi dan situasi sang istri. Bisa saja ia membangunkan sang istri untuk memasak dan menyiapkan makan malamnya. Bisa saja ia marah karena istrinya sudah tidur saat ia pulang dari kerja, sehingga tidak menyambutnya. Bisa saja ia melampiaskan kejengkelan dengan membanting pintu agar sang istri terbangun.

Ia memilih tidak melakukan tindakan seperti itu. Ia memilih untuk mengerti dan memahami kondisi istri. Kendati ia merasa lelah sepulang kerja, namun ia memahami dan mengerti bahwa istrinya juga lelah mengurus anak-anak dan berbagai urusan rumah tangga.

Ini adalah cara memahami, cara melihat, cara mengerti dan akhirnya cara menikmati sebuah kejadian dalam kehidupan. Jika ia melihat lebih banyak sisi kekurangan istri, atau melihat lebih banyak tuntutan kepada istri untuk melaksanakan kewajibannya, maka yang terjadi adalah sebuah perasaan marah dan emosi karena menganggap sang istri melalaikan kewajiban untuk menyambut suami saat pulang dari bekerja.

Hidup ini pilihan. Maka pilih saja segala yang bisa membawa kepada penguatan cinta, kasih sayang, keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga. Jangan memilih cara pandang dan cara menikmati yang justru akan merusak kebahagiaan.

[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2015]

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos