Bila Sudah Siap, Menikahlah

Bila Sudah Siap, Menikahlah

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu menikah di antara kalian hendaklah menikah. Barang siapa yang tidak mampu hendaklah berpuasa, karena puasa menjadi pelindung baginya.”

Hadis ini terdapat dalam Sahih Bukhari, Kitab An-Nikaah, Bab Man Istathaa’a Minkum Albaa-ah Falyatazawwaj…: 5065. Terdapat juga dalam Shahih Muslim dengan redaksi yang berbeda. Lihat Sahih Muslim, Kitab An-Nikaah, Bab Istihbaab An-nikaah Liman Taaqat Nafsuh Ilaih … : 1400.

Tema utama hadis ini ialah tentang kesiapan menikah. Kesiapan yang dimaksud ialah kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk menikah. Artinya, jika kondisi sudah tercukupi, hendaknya dia menikah. Sebaliknya, jika kondisi belum terpenuhi, hendaknya dia menjaga diri. Inilah isi seruan Rasulullah Saw dalam hadis ini.

Seruan ini mengisyaratkan bahwa urusan menikah tak sesederhana yang kita bayangkan, kepingin menikah langsung menikah begitu saja. Tidak sesimpel itu. Menikah bukan hanya untuk memenuhi hajat dan hasrat biologis saja, tapi juga membangun rumah tangga sebagai bagian dari peradaban masyarakat. Karena itulah, menikah bukan untuk satu atau dua hari saja. Tapi, untuk jangka panjang. Menikah juga menuntut adanya tanggung jawab moral dan sosial, selain tanggung jawab syar’i. Wajar saja kalau Allah Swt menyifatinya dengan mitsaaqan ghaliizhan (perjanjian yang kokoh). Allah Swt berfirman,  “… dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kokoh.” [Q. S. An-Nisaa (4): 21]

Seruan dalam hadis ini, secara khusus diarahkan kepada para pemuda. Ia tidak untuk anak-anak yang masih belia atau orang tua yang sudah renta. Usia para pemuda merupakan usia yang tepat untuk memulai memikul ‘perjanjian kokoh’ yang penuh dengan tanggung jawab ini. Hal ini dikarenakan pemuda merupakan tahapan perkembangan dengan puncak kesehatan, kekuatan, energi dan daya tahan, serta di puncak fungsi sensorik dan motorik. Setelah itu, kemampuannya akan menurun secara perlahan.

Seruan ini juga bukan untuk sembarang pemuda. Tapi, untuk mereka yang memiliki kemampuan baa-ah (dalam terjemah hadis ini diartikan; kemampuan menikah). Kata baa-ah sendiri, asal maknanya ialah jima’ (hubungan suami istri). Makna ini mengambarkan perlunya kesiapan biologis. Kesiapan ini terkait dengan kemampuan peran untuk memenuhi hasrat biologis suami-istri. Urusan ini tidak bisa dipisahkan dari pernikahan. Bahkan salah satu tujuan pernikahan ialah memenuhi hasrat ini secara bermartabat. Karena itu, bila kesiapan biologis ini tidak diperhatikan, dikhawatirkan akan berpotensi merusak ikatan suci lembaga pernikahan. Faktanya, memang tak sedikit rumah tangga hancur karena dipicu oleh ketidakharmonisan di tempat tidur.

Para ulama berbeda pandangan dalam memaknai kata baa-ah ini. Ada yang memaknai baa-ah sebagi kesiapan biologis sebagaimana yang telah dipaparkan. Ada juga yang memaknai baa-ah sebagai kesiapan finansial. Namun, keragaman pandangan ini hanya dalam makna lafal saja. Mereka tetap memiliki pemahaman yang sama dalam memaknai hadis ini secara umum. Pendapat pertama memaknai hadis ini dengan pemahaman bahwa, barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berjimak -karena mampu memberi nafkah-, hendaklah dia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu berjimak -karena tidak memiliki kemampuan memberi nafkah-, maka hendaklah dia memperbanyak puasa untuk menekan syahwatnya dan menghilangkan pikiran-pikiran kotornya. Sementara itu, pendapat kedua memaknai hadis ini dengan pemahaman bahwa barangsiapa yang mampu memberi nafkah, maka hendaklah dia menikah. Barangsiapa yang tidak mampu memberi nafkah, maka berpuasalah untuk menekan syahwatnya.

Ini artinya, harus ada kesiapan finansial. Ini hal penting yang tidak bisa dinafikan. Terlebih jika dikaitkan dengan peran suami atau ayah untuk menafkahi istri dan anggota keluarga. Anggaplah, tanggung jawab nafkah bisa dipikirkan setelah menikah. Tapi, tidakkah pernikahan menyaratkan adanya mahar yang harus dibayar oleh calon suami. Belum lagi pesta walimah yang harus diadakan walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing. Ini semua menuntut kesiapan finansial yang cukup.

Pada akhirnya, kesiapan seseorang untuk menikah diukur dengan kesiapan usia, kesiapan biologis, dan kesiapan finansial. Bila kesiapan-kesiapan ini sudah ada pada seseorang, hendaklah dia menikah. Sementara itu, jika kesiapan-kesiapan tersebut belum terpenuhi, hendaklah dia menyibukkan diri dengan ibadah puasa. Ini dilakukan, karena puasa bisa meredam keinginan menikah dan menjaganya dari pikiran kotor syahwatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwab.

[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin Nuha

Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi  Februari  2016]

 

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos