Bagaimana Perbedaan Antara Hibah dan Wasiat?

Bagaimana Perbedaan Antara Hibah dan Wasiat?

Assalamualaikum. Ustaz, saya dan adik adalah anak angkat. Kami diberi sebidang tanah yang sama luas dan sudah bersertifikat masing-masing, atas nama kami berdua, dan diberikan pada waktu bapak dan ibu angkat masih hidup (sekarang sudah meninggal). Ada keluarga bilang: “Bagianmu sepertiga dibagi dua.” Pertanyaan saya, apakah pemberian harus sepertiga? (085725569xxx)

Jawaban oleh Ustaz Fahrudin Nursyam (Pengasuh Ponpes Abi Ummi, Boyolali)

Waalaikumsalam Wr. Wb.

Hibah adalah pemberian hak milik atas suatu harta secara suka rela dan tanpa kompensasi di masa hidup pemberinya. Misalnya seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku hibahkan mobilku ini kepadamu secara sukarela tanpa kompensasi.” Kalau dengan pemaksaan itu bukan hibah tapi perampokan. Kalau dengan kompensasi berarti itu jual beli, upah, atau jasa. Dengan hibah tersebut, mobil sudah sah menjadi hak milik orang yang diberi pada saat itu juga. Namun, disunahkan agar dalam proses hibah dihadirkan dua orang saksi dan bukti-bukti yang diperlukan untuk mengantisipasi permasalahan di kemudian hari.

Sedang wasiat adalah pemberian hak milik seseorang (barang, piutang, ataupun manfaat) secara sukarela untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat (pemberi) meninggal dunia.  Misalnya seseorang berkata, “Setelah saya meninggal nanti, tanah pekarangan ini aku berikan kepada si-A, mobil ini aku berikan kepada si-B.” Dengan wasiat ini, hak milik atas tanah dan mobil masih berada di tangan pemberi wasiat. Bahkan dia berhak mencabut kembali wasiatnya, jika dirasa hal itu lebih maslahah. Hak kepemilikan berpindah setelah pemberi wasiat meninggal dunia dan setelah syarat-syarat lainnya terpenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, wasiat bisa dinyatakan batal.

Kesamaan antara hibah dan wasiat; keduanya adalah pemberian hak milik dan pemberi melakukannya di masa hidup. Sedangkan perbedaannya; dalam hibah, proses perpindahan kepemilikan terjadi ketika pemberi masih hidup. Sementara pada wasiat, proses perpindahan kepemilikan terjadi setelah pemberinya meninggal dunia.

Hal-hal Terkait Wasiat

Posisi wasiat itu setelah pelunasan utang. Dari Ibnu Abi Syaidah, dari An Nakha’i berkata, “Dimulai dengan kafan, utang, kemudian wasiat”. Jadi, harta warisan si-mayit pertama dialokasikan untuk biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, lalu penunaian wasiat, baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris.

Pemberi wasiat harus sudah akil balig, atau belum balig tetapi didampingi walinya. Pemberi wasiat berhak mengubah isi wasiatnya berkali-kali, dan yang jadi pedoman adalah wasiat yang paling akhir. Mengubah wasiat setelah pemberinya meninggal dunia termasuk dosa besar. [Q.S. Al Baqarah (2):181]

Pemberian wasiat tidak boleh dalam rangka untuk menyengsarakan ahli waris. Jika dicurigai ada maksud demikian, maka wasiat itu boleh diubah. [Q.S. Al Baqarah (2):182]

Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Kepada Sa’ad bin Abi Waqqash Ra, Rasul menegaskan, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah sangat banyak. [H.R. Bukhari dan Muslim]”

Penerima wasiat bukan ahli waris yang mendapatkan warisan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, Rasul bersabda, “Tidak ada wasiat untuk penerima warisan.” Ada pun kerabat yang bukan ahli waris, atau ahli waris yang terhalang untuk mendapat warisan, maka boleh menerima wasiat.

Penerima wasiat harus ada ketika wasiat itu dibuat. Maksudnya sudah berupa janin dalam rahim ibunya atau belum meninggal dunia saat wasiat itu dituliskan. Tetapi jika dia meninggal setelah dituliskan wasiat, maka ahli warisnya yang berhak menerima wasiat tersebut.

 

Hal-hal Terkait Hibah

Hibah kepada anak harus dilakukan secara adil. Ketika satu anak diberi hibah, yang lainnya harus dikasih juga secara adil. Rasul Saw menolak menjadi saksi pemberian hibah oleh ayah Nu’man yang melakukan hibah secara tidak adil.[H.R. Bukhari dan Muslim]

Hibah boleh lebih dari sepertiga, tetapi makruh dengan seluruh harta. Kecuali seseorang  punya keluarga yang sudah terkondisi dan dia sendiri mampu mencari harta untuk keluarganya dalam waktu cepat seperti Abu Bakar Ra yang menyedekahkan seluruh hartanya.

Tidak boleh mengambil kembali hibah yang sudah diberikan. Rasul Saw mengambarkannya seperti seekor anjing yang makan kenyang hingga muntah lalu memakan lagi muntahannya. [H.R. An Nasa’i dan Abu Dawud]

Penerima hibah tidak boleh menolak hibah. Jika dia tidak butuh, dia dapat memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Menolak hibah menutup pintu pahala, menerima hibah dan memberikannya lagi kepada orang lain, membuka pintu-pintu pahala.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian yang diberikan kepada penanya termasuk hibah. Hibah boleh lebih dari sepertiga harta. Pemberi hibah tidak boleh mengambil lagi pemberiannya, apalagi keluarganya (setelah si pemberi meninggal). Penerima hibah boleh memberikan hibah kepada keluarga pemberi yang telah meninggal dunia, baik secara keseluruhan atau sebagian sehingga nilai yang dia terima hanya sepertiga demi mendamaikan antar anggota keluarga besar si mayit yang telah banyak berbuat kebaikan. Wallahu a’lam bish-shawwab.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi September 2016>

 

Eni Widiastuti
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos