Apa yang Sebenarnya Terjadi Terhadap Muslim Uighur?

Apa yang Sebenarnya Terjadi Terhadap Muslim Uighur?

Oleh Hafidz Muftisany
Pemimpin Umum Majalah Hadila

Tahun 2016 saya mendapat undangan. Persisnya dari Pemerintah Otonomi Xinjiang di China. Saya diundang untuk melihat langsung kehidupan warga Muslim Uighur di Xinjiang. Saat itu saya satu-satunya jurnalis dari Indonesia yang berangkat.

Beberapa kawan jurnalis lain banyak dari negara mayoritas Muslim. Ada kawan dari Malaysia, Pakistan, Mesir, UEA, Iran sampai perwakilan media Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berbasis di Jeddah ikut diundang. Sisanya dari Rusia, Mongolia, Kazhakstan dan Korea Selatan.

Setiap tahun program ini selalu dihelat Pemerintah Republik Rakyat China. Mereka mendatangkan jurnalis-jurnalis dari berbagai negara untuk melihat langsung kehidupan di Xinjiang. Jurnalis Indonesia setahu saya selalu ada yang dikirim ke Xinjiang setiap tahun.

Wajar, sebab Xinjiang selalu menjadi sorotan dunia terkait isu diskriminasi Muslim Uighur yang menjadi mayoritas warga Xinjiang. Tapi saya jarang dapati jurnalis yang diundang, berasal dari negara-negara Barat yang secara politik memang berseberangan dengan China.

Mengikuti acara yang dihelat oleh pemerintah Xinjiang, tentu hal-hal yang ditampilkan adalah yang sesuai dengan keinginan pemerintah setempat. Tapi ada satu fakta baru yang saya dapatkan dari kunjungan. Salah satu pembicara yang dihadirkan mengaku beragama Islam. Muslim dari etnis Hui. Etnis Hui ini secara fisik persis seperti etnis Han yang menjadi mayoritas etnis di China.

Berdasarkan pengakuannya, semua etnis yang terlibat di pemerintahan harus melepaskan semua simbol-simbol keagamaan karena bergabung dengan Partai Komunis China (PKC). Pembicara ini mengaku dirinya Muslim. Tetapi karena menjadi anggota PKC, dia dilarang melaksanakan semua ajaran keagamaan. Hal yang sama berlaku bagi pemeluk agama lain. Begitu bergabung dengan PKC, semua simbol dan pengamalan keagamaan wajib hukumnya dilepaskan.

Saya beberapa hari tinggal di Urumqi, ibu kota Xinjiang. Kotanya cukup maju dan modern. Karena ambisi Presiden Xi Jin Ping dalam visi One Belt One Road, kereta cepat Urumqi-Beijing sudah tersedia.

Sebagai ibu kota dengan etnis terbanyak Uighur, saya tidak mendapati kawan-kawan beretnis Uighur ini di pusat-pusat perkotaan sebagai karyawan atau pekerja atau mereka yang berlalu lalang dengan mobil. Saya mendapati fakta bahwa di Urumqi, mayoritas etnis Uighur berprofesi sebagai pedagang makanan kaki lima, tukang sapu, bersih-bersih di jalan atau bahkan peminta-minta.

Saya mendapati mereka di sebuah masjid. Sayang, kendala bahasa menjadikan komunikasi kami tidak lancar. Mayoritas berbahasa Uighur. Bahasanya memakai aksara Arab. Di penunjuk jalan di Xinjiang, selain Latin dan Mandarin mereka juga menggunakan aksara Arab untuk bahasa Uighur.

Mayoritas sudah sepuh. Dari awal saya datang sebelum waktu salat, mereka hanya duduk-duduk di depan serambi masjid. Saat masuk waktu salat juga tidak ada kumandang azan melalui pengeras suara yang lazim saya temui di Tanah Air.

Soal makanan, harus saya akui cukup mudah menemukan makanan halal disini. Penjual kaki lima dari etnis Uighur bisa dikenali dari wajahnya. Logo halal juga terpampang di restoran-restoran halal. Saya juga menginap di hotel yang restorannya menjamin makanan yang dihidangkan adalah makanan halal.

Soal halal ini, Pemerintah China memang harus diapresiasi. Sejak di penerbangan dari Jakarta, kudapan dan makanan yang disajikan di pesawat sudah berlogo halal. Saat jamuan makan malam dengan pejabat setempat, saya yang Muslim tidak disuguhi wine, tetapi diganti dengan minuman bersoda. Dugaan saya karena menarik wisatawan Muslim untuk masuk dan berkunjung ke beberapa wilayah di China.

Tetapi soal masalah dengan Muslim Uighur, Pemerintah China memang harus diingatkan. Saat saya kesana, saya jelas belum menemukan kamp-kamp konsentrasi yang ditemukan akhir-akhir ini. Tetapi soal penyeragaman dan penanaman nilai-nilai ideologi komunis ini memang terasa sekali.

Saat saya berkunjung ke media lokal, semua kebijakan redaksi ditentukan langsung oleh PKC. Bahkan saya diajak ke sebuah studio televisi untuk melihat studio kuis yang kira-kira kontennya tentang “Seberapa Komunis Kamu”. Sebagai paham tunggal di China, komunisme memang menguasai seluruh aspek kehidupan di sana.

Selain itu, ketimpangan sosial dan ekonomi Muslim Uighur jelas jadi masalah. Sebagai mayoritas penduduk, akses terhadap ekonomi dan kesejahteraan nampaknya tak terlalu berpihak kepada etnis Uighur. Padahal mereka mayoritas. Maka ketika letupan-letupan muncul, bukan hanya soal isu keagamaan yang ada, tetapi juga terkait dengan akses ekonomi dan sosial.

Memang masjid masih boleh digunakan untuk kegiatan beribadah. Tetapi begitu masuk ke level pemerintahan tidak ada sama sekali kebebasan beragama. Semua staf dan pejabat yang ada juga tidak ada yang beretnis Uighur. Rata-rata mereka yang mengurus acara kami adalah etnis Han, etnis terbesar di daratan China.

Di Urumqi, infrastruktur boleh maju dan berkembang. Tetapi jika akses kebebasan beragama tidak masuk ke semua level dan jenjang, nampaknya Xinjiang akan terus menjadi bara dalam pembangunan China.

Hafidz Muftisany
ADMINISTRATOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos