Amal Ibadah Berkelanjutan

Amal Ibadah Berkelanjutan

يَا عَبْدَ اللَّهِ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

 “Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si Fulan itu, dulu dia bangun malam, kemudian dia meninggalkannya.”

Matan hadis ini shahih. Terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, Kitab At-Tahajjud, Bab Ma Yukrahu Min Tarki Qiyam Al-Lail Liman Kana Yaqumuhu: 1152. Terdapat dalam Shahih Muslim (dengan lafal yang sedikit berbeda), Kitab Ash-Shiyam, Bab An-Nahy ‘An Shaum Ad-Dahr: 1159.

Pesan utama dari matan hadis ini ialah pentingnya penjagaan kontinuitas amal ibadah. Artinya, amal ibadah seyogianya terus berlanjut. Tak seharusnya ia redup, berhenti, atau bahkan mati. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fath Al-Bari, matan hadis ini mengisyaratkan sunahnya merutinkan amal ibadah dan makruhnya memutus rutinitasnya, kendati amal ibadah tersebut bukan amal wajib.

Pesan agung ini mengajarkan kepada kita bahwa amal ibadah tidak mengenal musim. Artinya, amal ibadah tidak hanya pada musim tertentu, sementara pada musim yang lain tidak. Di sinilah masalahnya, tak jarang orang beranggapan bahwa Ramadan adalah musim ibadah. Karena itu, ketika Ramadan datang, banyak orang berbondong-bondong melakukan amal ibadah dan masjid-masjid makmur dengan banyaknya jemaah. Namun, saat Ramadan pergi, amal ibadah pun berhenti dan masjid-masjid yang awalnya ramai menjadi sepi dan mati. Seharusnya amal ibadah tidak saja pada saat Ramadan tiba, tapi juga di bulan-bulan lainnya. Meskipun, memang pada bulan Ramadan harus lebih giat.

Memang seharusnya demikian. Amal ibadah harus berkelanjutan. Prinsip dasarnya ialah ibadah itu sepanjang hayat. Tentang hal ini Allah Swt berfirman, “Dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu ‘al-yaqiin’.” [Q.S. Al-Hijr (15): 99] Para penafsir Alquran memaknai kata al-yaqin pada ayat tersebut dengan ajal atau kematian. Ini berarti, perintah beribadah bukan untuk barang sekali atau dua kali waktu, tetapi untuk waktu yang berterusan selama hayat masih dikandung badan.

Baca juga: Kesulitan Hidup untuk Meraih Cinta Allah

Amal ibadah berkelanjutan merupakan cerminan dari tujuan awal penciptaan jin dan manusia. Allah Swt menciptakan mereka untuk beribadah, bukan untuk yang lainnya. Akibatnya, yang ada dalam hidup ini hanyalah ibadah dan ibadah. Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Q.S. Adz-Dzariyat (51): 56]

Aspek kontinuitas dalam amal ibadah ini mengajarkan kepada kita tentang nilai waktu dan produktivitas amal. Jangan sampai ada waktu terbuang percuma tanpa amal produktif. Jangan sampai pula ada amal nonproduktif yang menghabiskan waktu dengan sia-sia. Karena itu, Allah Swt memerintahkan agar kita segera menyusuli dengan aktivitas lain selepas selesai dari suatu aktivitas. Allah Swt berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” [Q.S. Asy-Syarh (94): 7]

Dengan demikian, nyaris tak ada waktu yang terbuang percuma. Semuanya untuk amal produktif. Begitulah seharusnya yang dilakukan oleh setiap muslim. Rasulullah Saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, “Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.”

Bukan berarti, dalam menjalankan amal ibadah kita harus ngoyo-woro, berlebih-lebihan, dan memaksakan diri melebihi batas kemampuan. Bukan. Bukan sepert itu. Islam itu mudah. Sikap berlebih-lebihan, bahkan berpotensi menjadikan seseorang mengalami kejenuhan dan meninggalkan amal ibadah yang pernah dilakukan. “Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tak seorang pun yang mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal),” tegas Rasulullah Saw sebagaimana dituturkan ulang oleh Bukhari.

Itulah sebabnya Allah Swt lebih mencintai amal yang berkelanjutan walaupun sedikit dibandingkan dengan amal sesaat meskipun banyak. Rasulullah Saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah ialah yang paling berkelanjutan, meskipun sedikit.” Wallaahu a’lam.

[Penulis: Tamim Aziz, Lc., M.P.I., Pengasuh Pondok Pesantren Ulin Nuha, Slawi, Tegal, Jawa Tengah. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Juli 2017]

Taufik
AUTHOR
PROFILE

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos